Download Aplikasi SantriLampung.
You may want to read this post:
You may want to read this post:

Pernikahan Muhallil

 1. Pengertian nikah muhalil

“Nikah muhallil” ialah seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan syarat, apabila nanti mereka telah bersetubuh[1], maka tidak ada lagi ikatan pernikahan diantara mereka. Atau, laki-laki itu menikahi wanita tersebut dengan tujuan agar wanita itu “halal” dinikahi kembali oleh suami sebelumnya yang telah menjatuhkan talak tiga. Ini bila syarat itu di sebutkan dalam akad. Ketentuan ini berdasarkan hadis ibn mas’ud, rasulullah melaknat muhallil (orang yng menghalalkan wanita janda untuk dinikahi kembali mantan suaminya) dan muhallalah (mantan suami yang dihalalkan menikahi mantan istrinya kembali). Selain itu, nikah muhallil ini mengimplikasikan putusnya tali pernikahan tanpa adanya usaha mewujudkan tujuan pernikahan itu sendiri. Ini menyerupai nikah mut’ah. Padahal, mewujudkan tujuan pernikahan merupakan hakikat akad nikah.[2]

Menurut Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, pernikahan muhallil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga kali (oleh suami pertamanya) setelah selesai masa iddahnya yang kemudian mentalak kembali agar halal dinikahi oleh suaminya yang pertama.[3] Nikah secara tahlil adalah kesepakatan diantara wali perempuan dan calon suami bahwa jika ia menikahinya dan telah menyetubuhinya, maka dia harus mencerainya agar dapat kembali ke suaminya yang pertama. Para ulama mazhab sepekat bahwa seorang laki-laki yang mencerai isterinya maka isteri tersebut tidak halal lagi baginya sampai ia kewin terlebih dahulu dengan laki-laki lain dengan cara yang benar, lalu dicampuri dalam arti yang sesungguhnya. Berdasarkan firman Allah (2:230). Imamiyah dan maliki mensyaratkan bahwa laki-laki yang menjadi muhallil (penyelang) itu haruslah baligh sedangkan syafi’i dan hanafi memandang cukup bila dia (muhallil) mampu melakukan hubungan seksual, sekalipun dia belum baligh. Imamiyah dan hanafi mengatakan; apa bila penyelangan itu diberi syarat yang diucapkan dalam akad, misalnya muhallil mengatakan “saya mengawinin engkau dengan syarat menjadi penghalal bagi suami lamamu”, maka syarat seperti ini batal dan akad nikahnya sah. Akan tetapi hanafi mengatakan bahwa apabila siwanita takut tidak ditalak oleh muhallil, maka dia boleh mengatakan kepada si muhallil(diwaktu akad); “saya kawinkan diri saya dengan kamu dengan syarat masalah thalaknya ada di tangan saya”,[4]

Jika seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suaminya, maka suaminya itu tidak dapat menikahinya kembali kecuali setelah ada laki-laki lain yang menikahi isterinya tersebut. Oleh karena itu, si-suami menyuruh orang lain untuk menikahi isterinya yang telah ditalak tiga dengan tujuan agar ia dapat menikahinya kembali. Itulah yang disebut nikah muhallil dan itu sama sekali tidak dibenarkan.

Dalam hadis tertulis al-muhillu, yang sebenarnya berarti muhalil, yaitu seorang laki-laki yang menjatuhkan talak tiga lalu ia menyuruh orang lain untuk menikahi mantan isterinya tersebut agar ia dapat menikahinya kembali. Pernikahan semacam ini jelas dilarang oleh agama. Jika dalam akad nikah itu disyaratkan akan menceraikan isteri yang dinikahinya maka akad nikah tersebut batal. Demikian menurut mayoritas ulama. Sebagaimana halnya dengan nikah mut’ah. Disebut nikah muhalil karena adanya tujuan untuk menghalalkan isteri yang diceraikan supaya dapat dinikahinya kembali. Meskipun pada dasarnya tujuan tersebut tidak dapat dicapai dengan cara sepertu itu. Ada yang berpendapat nikah yang seperti itu tetap sah, tetapi syarat yang ditetapkan dalam nikah tersebut tidak sah. Oleh karena itu, pengantin wanita berhak menerima mahar mitsil. Dan jika dalam akad nikah tersebut tidak ada syarat, tetapi sudah ada niatan untuk menceraikan kembali wanita yang dinikahinya tersebut, maka yang demikian itu makruh meskipun nikah tersebut tetap sah. Jika orang yang disuruh menikahinya itu sempat bercampur dengannya dan setelah itu menceraikannya, lalu sang isteri selesai melalui masa iddahnya, maka bagi suami yang pertama dibolehkan menikahinya kembali, menurut sebagian besar ulama. Ibrahim An-Nakha’i mengemukakan; “nikah itu tidak dibolehkan kecuali karena adanya keinginan yang tulus untuk menikah. Oleh karena itu, jika ada salah seorang dari ketiga belah pihak, baik suami pertama, calon suami kedua, maupun perempuan bertujuan untuk menghalalkan pernikahan tersebut maka nikah tersebut tidak sah”.

Sofyan Ats-Tsauri mengatakan; “jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan niat tahlil (menghalalkan seorang wanita untuk dinikahi mantan suaminya), dan kemudian ditengah jalan untuk mempertahankan pernikahan itu, maka menurut saya ia harus menceraikannya, dan mengadakan pernikahan baru. Hal seperti itu juga dikemukakan oleh Ahmad bin Hambal”. Sedangkan menurut Imam Malik mengetakan bahwa antara keduanya harus dipisahkan, bagaimanapun caranya.[5]

2. Hukum nikah muhallil

Nikah ini (muhallil) termasuk dosa besar, yang dilarang oleh Allah. Orang yang menjadi perantara dan diperantarai dalam nikah muhallil dilaknat oleh Allah. Dalil yang melarang nikah muhallil:

لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ

“Allah melaknat si muhallil (orang yang menikah muhallil) dan muhallal lah(orang yang meyuruh nikah muhallil) (H.R. Turmizi).


Ulama Syafi’iyah dan lainnya berpendapat nikah tahlil haram dan tidak sah jika kesepakatan harus bercerai setelah melakukan persetubuhan disebut dalam tubuh akad (sulbi akad). Jika kedua calon suami isteri atau wali perempuan dan calon suami bersepakat diluar akad untuk bercerai setelah terjadi persetubuhan dan kesepakatan tersebut tidak disebut dalam akad, maka nikah itu sah dan tidak haram. Berikut kutipan pendapat ulama Syafi’iyah, antara lain :

Berkata ‘Ali Syibran al-Malusi :

“Adapun jika bersepakat keduanya sebelum melaksanakan akad untuk bercerai dalam waktu tertentu dan tidak disebut dalam akad, maka tidak mengapa tetapi sepatutnya makruh”.

Ibnu Hajar Haitamy mengatakan:

Jumhur Ulama menempatkankan maksud hadits “Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu” apabila disebut secara terang dalam akad dengan mensyaratkan apabila sudah terjadi persetubuhan maka suami harus mencerainya. Termasuk yang menempatkan maksud hadits seperti itu adalah Al-Imam al-Muttaqin al-Hafidh al-Munshif Abu Amrin bin Abdulbar, salah seorang tokoh Malikiah, beliau berkata, “Yang lebih dhahir makna hadits adalah menempatkannya kepada penyebutan secara terang (tashrih) dengan demikian itu, bukan atas niatnya, karena sesungguhnya isteri Rifa’ah ada menerangkan dia ingin kembali kepada suaminya yang pertama. Sesungguhnya hadits tersebut, mengandung pengakuan isteri Rifa’ah atas kesahihan nikahnya. Apabila niat isteri Rifa’ah tidak menjadi suatu yang salah, maka demikian juga niat suami pertama dan niat suami yang kedua yang akan menceraikannya lebih-lebih lagi tidak menjadi suatu yang salah. Oleh karena itu, tidak ada makna lain bagi hadits itu kecuali menempatkannya berdasarkan pendapat yang lebih dhahir di atas. Oleh karena itu, nikah tahlil itu (yang diharamkan) sama halnya dengan nikah mut’ah”.

Penjelasan Ibnu Hajar Haitamy di atas, juga disebut oleh al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa.

Kisah Rifa’ah dan isterinya di sebut di atas, terdapat dalam hadits riwayat Aisyah, beliau berkata; :


جاءت امرأة رفاعة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت كنت عند رفاعة فطلقني فبت طلاقي. فتزوجت عبدالرحمن بن الزبير. وإن ما معه مثل هدبة الثوب. فتبسم رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أتريدين أن ترجعي إلى رفاعة ؟ لا. حتى تذوقي عسيلته ويذوق عسيلتك

Artinya; “Isteri Rifa’ah datang kepada Nabi SAW, berkata : “Aku di sisi Rifa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talaq putus habis. Karena itu, aku kawin dengan Abdurrahman bin al-Zubir. Sesungguhnya keadaan bersamanya seperti rumbaian kain”. Rasulullah SAW tersenyum mendengarnya dan bersabda : “Apakah engkau merencanakan kembali kepada Rifa’ah, Tidak! Sehingga kamu merasakan madunya dan dia merasakan madu kamu”. (H.R. Muslim dan Bukhar )

Ulama-ulama Kufah berargumentasi keabsahan nikah apabila dengan qashad tahlil (cina buta) dengan keumuman firman Allah Q.S. al-Baqarah : 230, berbunyi;


فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Artinya; “Kemudian jika si suami mentalaknya, Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (Q.S. al-Baqarah : 230)

Pernikahan cina buta secara formal memenuhi syarat-syarat sebuah akad pernikahan, tidak beda apakah diniat tahlil atau tidak. Akad pernikahan membolehkan bersetubuh, mewajibkan mahar, nafkah dan kebolehan melakukan talaq. Hal tersebut tidak ada perbedaan, apakah ada diniat perkara-perkara tersebut seperti dikatakan : “Saya melakukan akad nikah karena ingin bersetubuh” atau tidak diniatkan sama sekali.

Sebagian kelompok ulama mengharamkan nikah tahlil secara mutlaq dengan merujuk kepada dhahir maksud dari dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah :

ﻠﻌﻥ ﺭﺴﻭﻝ ﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻌﻡ ﻤﺤﻠﻝ ﻭﺍﻠﻤﺤﻠﻝ ﻠﻪ. هذا حديث حسن صحيح

Artinya : Rasulullah SAW melaknat muhallil (orang yang menikah untuk menghalalkan bagi suami pertama wanita yang telah dicerai tiga kali, pen.) dan muhallallah (orang yang dihalalkan dengan pernikahan atasnya). Berkata At-Turmidzi : “Hadits ini hasan shahih”.. (H.R. At-Turmidzi)

Hadits ini sebagaimana penjelasan di atas, diposisikan apabila persyaratan tahlil ini dilakukan dalam sulbi akad berdasarkan dalil-dalil yang telah disebut di atas.

firman Allah Qur’an Surat Al A'raaf: 189

وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

Artinya;“Dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya”.(Q.S. Al-A'raaf : 189) dan firman Allah Qur’an Surat Ar-Ruum:21;

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S. ar-Ruum : 21)

Berdasarkan dua ayat di atas, dipahami bahwa perkawinan bertujuan untuk menciptakan rasa senang, tenteram dan memadu kasih sayang. Sedangkan dalam perkawinan tahlil, laki-laki mengawininya dengan rasa tidak senang/tenteram terhadap wanita itu dan wanita itu juga tidak merasa senang terhadap laki-laki tersebut. Dengan demikian hukum nikah untuk qashad tahlil tidak sah.

Jawaban terhadap dalil ini adalah rasa senang, tenteram dan memadu kasih sayang hanyalah merupakan hikmah perkawinan, bukan ‘illat yang dapat menjadi tempat bergantung hukum. Hukum tidak dapat digantung pada sebuah hikmah kecuali hikmah itu memenuhi persyaratan disebut sebagai ‘illat sebagaimana dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Kalau hikmah ini merupakan standar sahnya sebuah perkawinan, tentunya pernikahan yang justru kadang-kadang menjadi kesengsaraan dengan sebab tidak mencukupi pendapatan rumah tangga, sering terjadi cekcok rumah tangga dan sebab-sebab lain akan menjadi sebuah pernikahan yang batal. Tentu yang demikian tidak ada ulama yang berpendapat seperti itu.[6]

Apabila si-pria menikahi wanita tersebut dengan syarat bahwa setelah bersetubuh dia akan menceraikannya maka akad nikah ini batal. Demikian menurut pendapat yang azhar, seperti yang di ulas dalam kitab Ar-raudah. Apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita beri’tikad akan menceraikannya setelah bersetubuh maka akad nikah seperti ini hukumnya makhruh. Abu marzuq at-tajibi meriwayatkan bahwa seorang pria menemui utsman dan berkata “tetanggaku menalak istrinya dalam keadaan marah, dia mengalami kondisi yang berat. Aku ingin memperoleh pahala dari allah. Aku menikahi jandanya kemudian menyetubuhinya, lalu menalak dan mengembalikannya kepada suami pertama.”utsman berkata” jangan menikahi kecuali atas dasar karena suka (nikah raghbah).” Namun demikian, jika pria tersebut menikahi si wanita dengan niat ini, nikahnya tetap sah. Sebab, suatu akad hanya batal oleh sesuatu yang di syaratkan, bukan sesuatu yang diniatkan.

Apabila akad nikah tersebut terjadi atas dasar niat menghalalkan siwanita bagi suami pertama tanpa mempersyaratkan hal tersebut dalam akad maka nikahnya sah dan wanita itu halal dinikahi kembali oleh suami pertama. Demikian menurut pendapat syafi’iyah. Alasannya, menurut mereka, motivasi tertentu tidak bisa membatalkan akad kecuali jika di tegaskan secara jelas.[7]

3. Dasar hukum larangan nikah muhallil

a. Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: “Rasulullah melaknat al-Muhallil (laki-laki yang menikahi perempuan dan menceraikannya) dan muhallalah(orang yang menyryu muhallil)“(HR Tirmidzi, an Nasa’i dan Ahmad).

b. Jumhur ulama seperti Mali, Syafi’i -dalam salah satu pendapatnya-, Ahmad, Al laits, at-Tsauri, Ibnu Mubarak dan ulama lainnya berpendapat nikah ini tidak sah. Umar bin Khaththab, Abdullah bin Umar dan Ustman bin Affan juga berpendpat demikian.

c. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dia berkata “Tidaklah dilaporkan kepadaku mengeni seorang muhallil dan muhallalah melainkan aku akan merajam keduanya“(HR Abdurrazaq dan Sa’id bin Mansur).

d. Ibnu Umar pernah ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita yang sudah dicerai sebanyak tiga kali oleh suaminya dengan tujuan agar suami pertama dapat menikahinya kembali. ibnu Umar menjawab : “perbuatan itu adalah zina“(HR Abdurrazaq).[8]

e. Dalam hadis lain dari uqbah’ bin amir disebutkan, Rasulullah bersabda “maukah kalian aku beri tahu tentang kambing jantan yang di sewakan?” “ya, wahai rasulullah!” jawab para sahabat. “Dialah muhallil. Allah melaknat muhallil dan muhallalah,”jawab beliau.[9]


f. Sedangkan hadits Nabi saw :

لَعَنَ اللَّهُ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ

“Allah melaknat si muhallil (orang yang menikah muhallil) dan muhallal lah(orang yang meyuruh nikah muhallil,” (H.R. Turmizi).

g. Nikah muhallil menurut Ali Yusuf As-Subki ialah seorang perempuan dicerai tiga kali (talak ba’in kubra) maka haramlah menikahinya, berdasarkan firman Allah; “maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain” (QS. Albaqarah;230),


Artinya; “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:230)

Maka ia dinikahi laki-laki lain dengan maksud kehalalannya bagi suami yang pertama, pernikahan ini batil, berdasarkan riwayat ibnu mas’ud. Hukum pernikahan ini batal dan tidak halal bagi isteri yang telah ditalak tiga, ia harus memberi mahar kepada isterinya jika ingin berkumpul (berjimak), kemudian keduanya dipisahkan.[10]

Imamiyah, syafi’i dan hanafi mengatakan; kalau seorang wanita telah dicerai tiga kali, lalu bekas suaminya tersebut meninggalkannya, atau sebaliknya, kemudian siwanita mengatakan bahwa ia telah kawin (dengan laki-laki lain) dan ditalak dengan suaminya yang kedua itu, serta iddahnya telah habis, sementara waktu yang dilewati memang memungkinkan untuk terjadi semuanya itu, maka pernyataannya itu diterima tanpa ia harus disumpah, sedangkan bekas suaminya yang pertama boleh mengawininya kembali manakala ia yakin atas kebenaran pernyataan tersebut, tanpa ia harus mencari bukti-bukti terlebih dahulu.[11]

Hukum thalak ba’in kubra sama dengan thalak bain sughra, yaitu memutuskan tali perkawinan antara suami dan isteri. Tetapi talak ba’in kubra tidak menghalalkan bekas suami merujuknya kembali bekas isteri kecuali sesudah ia menikah dengan lelaki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya, tanpa ada niat nikah tahlil.[12]

Jika perceraian antara suami dan isteri telah mencapai tahap dimana mereka berdua tidak lagi bisa hidup bersama, maka Allah menetapkan sebuah pelajaran yang keras bagi mereka. Seorang isteri yang telah ditalak tiga tidak boleh kembali lagi kepada suaminya sebelum ia dinikahi oleh lelaki lain yang kemudian menceraikannya. Beberapa orang memperaktekkan pernikahan kedua ini sebagai formalitas belaka. Pernikahan tetap dilangsungkan dengan syarat-syarat yang lazim, tetapi suami yang baru tidak boleh berhubungan seksual dengan isterinya itu dan harus menceraikannya secapat mungkin agar bisa dinikahi oleh suami pertama. Suami kedua inilah yang lazim disebut sebagai muhallil. Islam tidak mengakui cara seperti itu. Pernikahan tidak boleh dilaksanakan dengan niat menghalalkan isteri untuk suaminya yang lama. Lalaki yang menikah dengan niat menjadi muhallil tidak berhak atas hak-hak apapun dalam pernikahan. Dan wanita yang diceraikanya tidak boleh dinikahi lagi oleh suaminya yang lama. (referensi; 2;230).

Menikah dalam ayat ini pernikahan yang wajar alamiah, bukan dengan tujuan menghalalkan isteri untuk suami yang lama. Jika seorang wanita dinikahi kemudian diceraikan dengan lasan-alasan yang wajar oleh suaminya yang baru maka dia boleh dinikahi kembali oleh suaminya yang lama. Oleh karena itu Allah berfirman dalam surat 2:230. Yang dimaksud dalam ayat tersebut “jika keduanya berpendapat akan daat menjalankan hukum-hukum Allah” dalam ayat ini artinya pernikahan kembali antara pasangan suami isteri yang sudah pernah bercerai itu dibolehkan dengan syarat-syarat tertentu seperti berikut ini;

Persoalan-persoalan yang dulu membuat mereka bercerai dirasa sudah selesai

Keduanya telah bersepekat untuk saling membantu dan saling menghormati

Keduanya telah mengambil pelajarang berharga dari pengalaman yang buruk yang mereka alami[13]

Nikah muhallil dapat dikatagorikan sebagai nikah yang bathil, nikah bathil adalah nikah yang terdapat kerancuan dalam slah satu rukunnya atau salah satu syarat pelaksanaan akadnya. Hukum setelah pernikahan itu adalah tidak adanya kewajiban apapun begi pasangan tersebut. Namun, pernikahan itu dianggap tidak ada dan kedua mempelai saat itu juga harus dipisahkan. Kalau tidak maka pengadilan yang memisahkannya. Sang laki-laki tidak boleh bercampur dengan perempuan yang dinikahi secara bathil. Apabila terjadi percampuran (berhubungan badan) maka perbuatan tersebut sama halnya dengan perbuatan zina dan harus dihukum. Pendapat ini adalah pendapat tiga imam (maliki, syafi’i dan hambali), Abu Yusuf dan Muhammad.[14]

Islam melarang nikah tahli (muhallil), karena juga merupai zina. Diriwayatkan oleh tarmidzi dari Abdullah ra, “Rasulullah saw melaknat muhil (orang yang menjadi nikah tahlil) dan muhallal lahu (orang yang menyuruh muhallil untuk menikah tahlil).

Al-Qadhi mengatakan; “Almuhallal adalah pihak yang menikahi wanita yang ditalak tiga dengan maksud menthalaknya lagi setelah digauli agar suami pertamanya menikahinya lagi”. Dengan nikah seperti itu, seolah-olah suami pertamanya menghalalkan isterinya untuk disetubuhi orang lain. Sedangkan muhallallahu adalah suaminya yang pertama. Kedua-duanya dilaknat karena merusak kehormatan dan harga diri, dan itu menunjukkan kelemahan dan ketidakjelasan keimanan mereka. Pada pihak muhallillahu amat jelas, sedangkan untul muhallil karena ia seolah-olah meminjamkan dirinya untuk berhubungan badan demi kepentingan orang lain, ia menyetubuhi seorang wanita untuk memberikan keabsahan hukum kepada muhallillahu, itulah sebabnya, nabi menyamakannya dengan kambing jantang yang disewakan.

Amir As-Shan’ani menjelaskan; hadis tersebut merupakan diharamkannya nikah tahlil karena kata laknat hanya ditujukan kepada pelaku perbuatan haram, dan setiap yang diharamkan itu dilarang, padahal fungsi larangan adalah untuk menjaga agar akad tidak rusak. Al-Hafiz Abdullah Bin Abi Syaibah meriwayatkan dari Qubaisyah bin jabir, tidaklah aku dihadapkan dengan muhallil dan muhallallahu melaikan aku akan merajam keduanya.” Al-Hafiz juga meriwayatkan hadit dari abdul malik bin Mughirah bin naufal, bahwa ibnu umar ra. Pernah ditanya tentang men-tahlil wanita demi suaminya. Jawabnya; “yang demikian itu adalah zina, andaikan umar tau tentang pertanyaan kalian ini, pastilah ia akan membunuh kalian”.

Abdurrazzaq meriwayatkan dari Atsauri dari Abdullah bin suraik al amiri; aku telah mendengan ibnu umar ra. Ditanya tentang seorang lelaki yang mentalak anak perempuan pamannya, kemudian dia ingin rujuk, dan menyesali perbuatannya itu, lalu ia mencari orang untuk menikahinya untuk kemudian men-tahlil demi suaminya itu, lalu ibnu umar berkata, “keduanya berzina, walaupun keduanya tinggal sekian dan sekian-ia menyebutkan dua puluh tahun atau yang lainnya-jika Allah mengetahui bahwa ia ingin lelaki itu mentahlil wanita itu untuknya”

Ibnu abbas ra. Ditanya “apa pendapatmu tentang suami yang mentahlil isterinya untuk suaminya yang pertama?”, jawabnya; “barang siapa yang melakukan tipu daya kepada Allah, maka Allah akan membalas tipu dayanya”

Aku pernah mendengar Al-Jurud menuturkan perkataan Al-Waki’ bahwa ia berpendapat demikkian, kata Al-jurud; “bab ini perlu dilontarkan berdasarkan pendapat para ahli ra’yi (para ulama yang ahli dalam qiyas)”. Namun waki’ mengutip pernyataan Sufyan: “jika seseorang menikahi wanita untuk ditahlil tetapi kemudian tidak mentalaknya, tidak sah sampai ia membuat akad nikah baru”. Ibnu Taimiyam mengatakan; nikah tahlil lebih buruk daripada nikah mut’ah, karena nikah tahlil tidak dibolehkan sama sekali. Untuk menghilangkannya perlu dilakukan akad nikah baru dan nikah seperti itu tidak dibenarkan dalam kondisi apapun.[15]

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, diantaranya;

Pernikahan muhallil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah di talaq tiga oleh suami pertama, dengan maksud untuk membolehkan/menghalalkan wanita tersebut untuk bisa nikah kembali dengan suami yang pertama.

Pernikahan wanita dengan lelaki kedua, baik telah berkumpul atau tidak, maka nikah tersebut tidak sah (haram). Karena tidak sesuai dengan tujuan perkawinan menurut islam.

Mengenai sumber hukum, ada dalam Al-Quran maupun Hadits. Dan sejarah nikah muhallil telah ada sejak zaman nabi muhammad saw.



DAFTAR PUSTAKA

Wahbah zuhaili Al-fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, diterjemahkan dalam fiqh imam syafi’I 2, penerjemah Muhammad afifi,abdul hafiz, Jakarta: almahira.

Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, fiqhu As-Sunnah An-Nisa’. Diterjemahkan oleh; Beni Sarbeni, Ensiklopedi Fiqih Wanita, 2008. Bogor; Tim Pustaka Ibnu Katsir

Muhammad Jawad Mughniyah, fiqhul ala mazahib al-khamsah. Penerjemah; Masykur AB. Afif Muhammad, Fiqih lima mazhab, 2005. Jakarta; Lentera

Syaikh Hasan Ayyub, fiqhul usrah al-muslimah. Diterjemahkan oleh Abdul Ghoffar EM; “fikih keluarga”, 2008. Jakarta; Pustaka Al-Kautsar

http://kitab-kuneng.blogspot.com/2011/05/nikah-secara-tahlil-cina-buta.html http://dc436.4shared.com/doc/R1sZOvMh/preview.html

Ali Yusuf As-Subki, nidhamul usrah fil islam. penerjemah; Nur Khozin, Fiqh Keluarga, pedoman berkeluarga dalam islam,2010. Jakarta; Amzah

Abdul Rahman Ghozali, fikih munakahat, 2003. Jakarta: kencana

Muhammad Mutawwali Sya’rawi, Fiqhul mar’ah, prjh; Ghozi M; Fikih wanita, 2007

Abdul Majid Mahmud Mathlub, panduan hukun keluarga sakinah, 2005. Surakarta; Era Intermedia

Fadhil Ilahi, zina, problematika dan solusinya, 2005. Jakarta; Qisthi Press


[1] Sebagian ulama ada mensyaratkan setelah bersetubuh, dan ada pula tidak mensyaratkan keduanya bersetubuh, sehingga pernikahan ini juga disebut “nikah muhallil”.

[2] Prof.Dr. Wahbah zuhaili AL-FIQHU ASY-SYAFI’I AL-MUYASSAR,diterjemahkan dalam fiqh imam syafi’I 2,penerjemah Muhammad afifi,abdul hafiz,Jakarta: almahira.2010 Hal-510

[3] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, fiqhu As-Sunnah An-Nisa’. Diterjemahkan oleh; Beni Sarbeni, Ensiklopedi Fiqih Wanita, 2008. Bogor; Tim Pustaka Ibnu Katsir, jilid 2, cet-1, hal-245

[4] Muhammad Jawad Mughniyah, fiqhul ala mazahib al-khamsah. Penerjemah; Masykur AB. Afif Muhammad, Fiqih lima mazhab, 2005. Jakarta; Lentera, cet-4, hal-453

[5] Syaikh Hasan Ayyub, fiqhul usrah al-muslimah. Diterjemahkan oleh Abdul Ghoffar EM; “fikih keluarga”, 2008. Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, cet-5, hal-151-152

[6] http://kitab-kuneng.blogspot.com/2011/05/nikah-secara-tahlil-cina-buta.html

[7] Prof.Dr. Wahbah zuhaili Al-fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, diterjemahkan dalam fiqh imam syafi’I 2,penerjemah Muhammad afifi,abdul hafiz,Jakarta: almahira.2010 Hal-510-512

[8] http://dc436.4shared.com/doc/R1sZOvMh/preview.html

[9] Prof.Dr. Wahbah zuhaili Al-fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, diterjemahkan dalam fiqh imam syafi’I 2,penerjemah Muhammad afifi,abdul hafiz,Jakarta: almahira.2010 Hal-510

[10] Dr. Ali Yusuf As-Subki, nidhamul usrah fil islam. penerjemah; Nur Khozin, Fiqh Keluarga, pedoman berkeluarga dalam islam,2010. Jakarta; Amzah, hal-137

[11] Muhammad Jawad Mughniyah, fiqhul ala mazahib al-khamsah. Penerjemah; Masykur AB. Afif Muhammad, Fiqih lima mazhab, 2005. Jakarta; Lentera, cet-4, hal-453 s/d 455

[12] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, fikih munakahat, 2003. Jakarta: kencana, hal-269

[13] Muhammad Mutawwali Sya’rawi, Fiqhul mar’ah, prjh; Ghozi M; Fikih wanita, 2007, cet-3, hal-186-187

[14] Abdul Majid Mahmud Mathlub, panduan hukun keluarga sakinah, 2005. Surakarta; Era Intermedia, hal-80-81

[15] Prof. Dr. Fadhil Ilahi, zina, problematika dan solusinya, 2005. Jakarta; Qisthi Press, hal-163-166

Alumni Universitas Islam Negeri Lampung.
You may want to read this post:
You may want to read this post: