Download Aplikasi SantriLampung.

Sejarah Isra' Mi'raj



Isra Mi’raj merupakan dua bagian dari perjalanan yang dilakukan oleh Muhammad SAW. dalam waktu satu malam saja. Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa penting bagi umat Islam, karena pada peristiwa ini Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam mendapat perintah untuk menunaikan salat lima waktu sehari semalam. 




Isra Mi’raj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer. 




Peristiwa Isra Mi’raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam “diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima waktu. 




Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal yang membuat Rasullullah SAW sedih.






Peristiwa tersebut hanya dianugerahkan Allah kepada baginda, Nabi Besar Muhammad saw. Tentunya dalam perjalanan itu banyak sekali pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik. 




Jika dalam perjalanan keluar kota saja kita dapat memetik banyak pelajaran, bagaimana kiranya dalam perjalanan menjelajah alam semesta yang tujuan utamanya adalah untuk bertemu dengan Allah? 




Ringkasan Sejarah




Pada suatu malam Nabi Muhammad SAW berada di Hijir Ismail dekat Ka'bah al Musyarrofah, saat itu beliau berbaring diantara paman beliau, Sayyiduna Hamzah dan sepupu beliau, Sayyiduna Jakfar bin Abi Thalib, tiba-tiba Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil menghampiri beliau lalu membawa beliau ke arah sumur zamzam, setibanya di sana kemudian mereka merebahkan tubuh Rasulullah yang kemudian Jibril as membelah dada beliau yang mulya sampai di bawah perut beliau, lalu Jibril berkata kepada Mikail:




"Datangkan kepadaku nampan dengan air zam-zam agar aku bersihkan hatinya dan aku lapangkan dadanya". 




Pembedahan menjelang Isra ini merupakan pembedahan keempat kalinya; yang pertama ketika beliau masih menyusu pada Siti Halimah Sa’diyah, yang kedua ketika usia baligh, yang ketiga ketika diangkat menjadi utusan (rasul), dan keempat ketika akan diisrakan. 




Kemudian Jibril AS mengeluarkan hati beliau yang mulya lalu menyucinya tiga kali, kemudian didatangkan satu nampan emas dipenuhi hikmah dan keimanan, kemudian dituangkan ke dalam hati beliau, maka penuhlah hati itu dengan kesabaran, keyakinan, ilmu dan kepasrahan penuh kepada Allah, lalu ditutup kembali oleh Jibril AS. 




Dan perlu diketahui bahwa penyucian ini bukan berarti hati Nabi kotor, tidak, justru Nabi sudah diciptakan oleh Allah dengan hati yang paling suci dan mulya, hal ini tidak lain untuk menambah kebersihan diatas kebersihan, kesucian diatas kesucian, dan untuk lebih memantapkan dan menguatkan hati beliau, karena akan melakukan suatu perjalanan maha dahsyat dan penuh hikmah serta sebagai kesiapan untuk berjumpa dengan Allah SWT. Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi mengatakan di dalam kitab Simtudduror:




Mereka membaringkannya dengan hati-hati


Lalu membelah dadanya dengan lemah lembut


Dan mengeluarkan apa yang mereka keluarkan


Lalu menyimpankan rahasia ilmu dan hikmah ke


dalamnya


“Tiada suatu kotoran menganggu


yang dikeluarkan malaikat dari hatinya,


Tapi mereka hanya menambahkan


Kesucian di atas kesucian…” 




Dalam syarahannya mengenai hadis Isra dan Mi’raj pada kitab At-Taajul Jaami’lil ushuul fi ahaadiitsir rasuul, Syeikh Manshur Ali Nashif menulis: Sesudah itu mereka (para malaikat) mendatangkan kepada Rasululah seekor hewan putih lebih kecil dari baghal tetapi lebih besar dari keledai, yaitu hewan buraq. 




Buroq tersebut dahulunya sering dinaiki oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Buroq adalah hewan yang besarnya lebih tinggi dari keledai tetapi lebih rendah dari baghal; warna kulitnya putih dan mempunyai dua sayap yang ada di sebelah kanan dan kirinya. 




Sekali lompat dapat mencapai sejauh matanya memandang; apabila turun kedua kaki depannya memanjang, dan apabila naik kedua kaki belakangnya memanjang, sehingga punggungnya tetap stabil. Nabi saw menaikinya lalu terbang dengan diiringi oleh Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail. 




Mereka terus melaju, mengarungi alam ciptaan Allah SWT yang penuh keajaiban dan hikmah dengan Inayah dan Rahmat-Nya.




Saudaraku, jika kita perhatikan dengan baik Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw, maka tampaklah sebuah kenyataan bahwa perjalanan itu merupakan perjalanan menuju tempat-tempat yang berkah, menemui manusia-manusia yang berkah dan kemudian bertemu dengan sumber segala keberkahan, yaitu Allah yang Maha Kuasa. Secara jelas Allah mewahyukan:




Allah berfirman: 




سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْـرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْــجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْـجِدِ الأَقْصى الَّــذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ 




Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami BERKAHI sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Isra, 17:1) 




Nabi saw berangkat dari Mekah, kota yang penuh berkah, menuju Masjidil Aqsha yang penuh berkah dan sebelumnya juga singgah di tempat-tempat yang berkah. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, Rasulullah saw bersabda:




“Aku diberi seekor hewan yang lebih tinggi dari keledai dan lebih rendah dari baghal. Langkah hewan itu sejauh pandangannya. Aku menungganginya, dan Jibril Alaihissalam mendampingiku. Aku pun pergi. Di sebuah tempat Jibril berkata, “Turunlah, shalatlah di sini.” Aku pun turun dan shalat. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah di mana engkau tadi shalat?” Engkau tadi shalat di Thaibah (Madinah), di sanalah tempat hijrahmu.” (Setelah melanjutkan perjalanan) Jibril berkata, “Turunlah di sini dan shalatlah.” Aku pun melaksanakan permintaannya. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah di mana engkau tadi shalat? Engkau shalat di Thursina, di mana Allah ‘Azza wa Jalla berbicara kepada Musa ‘Alaihissalam.” (Setelah melanjutkan perjalanan) Jibril berkata, “Turunlah di sini dan shalatlah.” Aku pun turun dan shalat. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah di mana engkau tadi shalat? Engkau shalat di Bethlehem, tempat kelahiran Isa Alaihissalam.” Setelah itu aku memasuki Baitul Maqdis, di sana semua Nabi ‘Alaihissalam dikumpulkan untuk (bertemu dengan)ku. Jibril kemudian membawaku ke depan (untuk menjadi imam). Aku pun lalu mengimami mereka…” (HR Nasa’i) 




Coba anda perhatikan, ternyata Nabi saw diajak untuk singgah di tempat-tempat yang penuh berkah. Beliau saw singgah di Madinah, dan shalat di sana, singgah di bukit Thursina, tempat di mana Nabi Musa as diangkat menjadi Rasul, dan beliau shalat di sana. Kemudian beliau singgah di Bethlehem, tempat kelahiran Nabi Isa as, dan shalat di sana. Perjalanan ini berawal dari Makkah di mana terdapat Kabah yang DIBERKAHI dan merupakan pusat ibadah umat islam. 




Ia merupakan rumah pertama yang dibangun di muka bumi. Usia kabah setara dengan usia bumi ini. Allah mewahyukan:




“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang DIBERKAHI dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Ali Imran, 3:96) 




Siapapun yang berkunjung ke sana akan mendapatkan banyak manfaat, ia akan bertemu manusia dari segala bangsa, mendapat percikan cahaya iman mereka, dapat pula memperoleh keuntungan duniawi, memberikan rasa aman (3:97), dan pahala ibadah yang kita lakukan di sekitar kabah berlipat ganda dibandingkan di tempat lain.




Persinggahan Isra’ Rasulullah diantaranya adalah Thaibah yakni Kota Madinah yang memiliki banyak keberkahan. Kota inilah pelabuhan hijrah Nabi Muhammad saw beserta para sahabat. Dari kota inilah cahaya Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dari sekian banyak keberkahan, keberkahan terbesar Madinah adalah bersemayamnya Nabi Muhammad saw di sana. 




Tidak ada tanah yang lebih mulia dari tanah yang di dalamnya terdapat tubuh manusai yang paling bertakwa, yang paling mulia, yang paling dicintai Allah yaitu baginda Rasulullah saw. Ingatkah Anda ketika pemuda Anshar kurang puas dengan pembagian hasil perang, di mana Nabi saw lebih banyak memberi warga Mekah yang baru memeluk Islam untuk menarik hati mereka? 




Apa sabda Nabi saw kepada Anshar, warga Madinah, coba Anda simak:




“Tidak senangkah kalian, jika mereka pulang ke rumahnya membawa harta rampasan perang, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah saw ke rumah-rumah kalian? Andaikata kaum anshar melewati sebuah lembah atau lereng, maka aku akan melewati lembah atau lereng yang dilewati Anshar.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahmad) 




Dalam kesempatan lain baginda Muhammad saw bersabda:


“Barangsiapa mampu untuk meninggal dunia di kota Madinah, maka hendaknya dia lakukan hal itu, sebab aku akan memberikan syafaat kepada orang yang meninggal di Madinah. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad) 




Karena itulah para ulama dan segenap umat Islam dari zaman ke zaman memuliakan kota Madinah dan mengharapkan keberkahannya. Imam Syafi’i bercerita: Didepan pintu rumah Imam Malik kulihat tertambat seekor kuda Mesir yang sangat indah. Aku belum pernah melihat kuda sebaik itu. “Betapa indah kuda itu,” ucapku kepada beliau. “Wahai Abu Abdillah, kuhadiahkan kuda itu kepadamu.”




“Simpanlah seekor hewan sebagai tungganganmu,” ujarku.




“Aku malu kepada Allah untuk menginjak tanah yang di dalamnya terdapat Nabi Muhammad saw dengan kaki hewan tungganganku,” jawab imam Malik ra.




Kemudian beliau saw singgah di bukit Thursina ini yang mana keberkahannya tertulis di dalam Al Quran, Allah mewahyukan:




“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir LEMBAH YANG DIBERKAHI, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Qashash, 28: 30) 




Kemudian persinggahan Isra berikutny adalah Bethlehem tempat dimana Nabiyallah Isa as dilahirkan. Dimana pun Nabi Isa as berada, senantiasa membawa keberkahan bagi penduduk sekitarnya. Nabi Isa sendiri telah menyatakan bahwa diri beliau diberkati, Allah mewahyukan:




“Dan DIA menjadikan Aku seorang yang DIBERKATI di mana pun aku berada.” (Maryam, 19:31) 




Ketika menjelaskan ayat ini, Syeikh Abdulqadir Al-Jailani ra berkata: Di antara keberkahan Nabi Isa as adalah berbuahnya pohon kurma untuk ibu beliau Ash-Shiddiqiyyah Maryam as. Kemudian, munculnya air dari bawah pohon kurma itu. Kejadian ini tiada lain adalah di Bethlehem tempat di mana Nabi Isa as dilahirkan. 




Allah Azza Wa jalla mewahyukan:




Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu.” (Maryam, 19:24-26) 




Setelah singgah di tempat-tempat yang berkah, barulah Nabi saw berangkat menuju Masjidil Aqsha yang disekelilingnya diberkati Allah.




Para ulama menjelaskan bahwa daerah sekitar masjidil Aqsha dikatakan berkah karena dua hal, pertama adalah karena tanahnya subur dan kaya akan hasil bumi. Kedua, karena begitu banyak Nabi dan orang-orang saleh yang dimakamkan di sana. 




Saudaraku, kita semua tahu, bahwa inti Isra Mi’raj adalah pertemuan Nabi Muhammad dengan Allah. Pertanyaannya, mengapa sebelum pertemuan itu Allah memerintahkan Nabi saw untuk singgah di tempat-tempat yang bersejarah tersebut? Semua itu tiada lain adalah sebuah bentuk pembelajaran. 




Allah ingin memberitahukan kepada kita bahwa napak tilas para Nabi, rasul dan kaum sholihin adalah tempat-tempat yang mulia, kita tidak boleh melupakannya begitu saja. Di sana terdapat banyak keberkahan yang dapat kita peroleh. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam Isra Mi’raj di atas, maka seyogyanya kita juga melakukan perjalanan ibadah ke tempat-tempat bersejarah Islam, napak tilas para Nabi dan kaum sholihin. Semoga sunnah Nabi saw ini dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. 




Demikianlah perjalanan ditempuh oleh beliau SAW dengan ditemani Jibril dan Mikail, begitu banyak keajaiban dan hikmah yang beliau temui dalam perjalanan itu sampai akhirnya beliau berhenti di Baitul Maqdis (Masjid al Aqsho). Beliau turun dari Buraq lalu mengikatnya pada salah satu sisi pintu masjid, yakni tempat dimana biasanya Para Nabi mengikat buraq di sana. 




Kemudian beliau masuk ke dalam masjid bersama Jibril AS, masing-masing sholat dua rakaat. Setelah itu sekejab mata tiba-tiba masjid sudah penuh dengan sekelompok manusia, ternyata mereka adalah para Nabi yang diutus oleh Allah SWT. 




Diantara jamaah para nabi tersebut Nabi saw melihat Nabi Musa as sedang shalat, yang ternyata ia berbadan kurus dan berambut keriting, seakan-akan seseorang dari kalangan Bani Syanu’ah. Beliau pun melihat Nabi Isa Ibnu Maryam as sedang shalat, orang yang paling mirip dengannya ialah ‘Urwah ibnu Mas’ud Ats-Tsaqafi. 




Beliau juga melihat Nabi Ibrahim as sedang shalat dan orang yang paling mirip dengannya ialah beliau sendiri. Kemudian dikumandangkan adzan dan iqamah, lantas mereka berdiri bershof-shof menunggu siapakah yang akan mengimami mereka, kemudian Jibril AS memegang tangan Rasulullah SAW lalu menyuruh beliau untuk maju, kemudian mereka semua sholat dua rakaat dengan Rasulullah sebagai imam. Hal ini mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad saw lebih utama dan lebih mulia daripada mereka di sisi Allah. Beliaulah Imam (Pemimpin) para Anbiya' dan Mursalin. Ketika beliau saw selesai dari shalat, tiba-tiba ada seseorang mengatakan, “Hai Muhammad, ini adalah Malaikat malik penjaga pintu neraka, ucapkanlah salam kepadanya”. Aku menoleh dan ternyata dialah yang memulai bersalam kepadaku. 




Kemudian setelah beliau menyempurnakan segalanya, -- Syeikh Manshur menjelaskan – lalu dipasang untuk beliau Mi’raj, yaitu berupa tangga yang memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan jumlah lapisan langit. Barangsiapa yang menaiki satu derajat dari Mi’raj itu, maka Mi’raj akan membawanya naik ke tingkatan yang selanjutnya lebih cepat dari sekejap mata sampai akhirnya beliau SAW berjumpa dengan Allah dan berbicara dengan Nya, yang intinya adalah beliau dan umat ini mendapat perintah sholat lima waktu. 




Sungguh merupakan nikmat dan anugerah yang luar biasa bagi umat ini, di mana Allah SWT memanggil Nabi-Nya secara langsung untuk memberikan dan menentukan perintah ibadah yang sangat mulya ini. Cukup kiranya hal ini sebagai kemulyaan ibadah sholat. Sebab ibadah lainnya diperintah hanya dengan turunnya wahyu kepada beliau, namun tidak dengan ibadah sholat, Allah memanggil Hamba yang paling dicintainya yakni Nabi Muhammad SAW ke hadirat Nya untuk menerima perintah ini. 




Ketika beliau dan Jibril sampai di depan pintu langit dunia (langit pertama), ternyata disana berdiri malaikat yang bernama Ismail, malaikat ini tidak pernah naik ke langit atasnya dan tidak pernah pula turun ke bumi kecuali disaat wafatnya Rasulullah SAW, dia memimpin 70 ribu tentara dari malaikat, yang masing-masing malaikat ini membawahi 70 ribu malaikat pula. 




Jibril meminta izin agar pintu langit pertama dibuka, maka malaikat yang menjaga bertanya:




"Siapakah ini?"




Jibril menjawab: "Aku Jibril."




Malaikat itu bertanya lagi: "Siapakah yang bersamamu?"




Jibril menjawab: "Muhammad saw."




Malaikat bertanya lagi: "Apakah beliau telah diutus (diperintah)?"




Jibril menjawab: "Benar".




Setelah mengetahui kedatangan Rasulullah malaikat yang bermukim disana menyambut dan memuji beliau dengan berkata:




"Selamat datang, semoga keselamatan menyertai anda wahai saudara dan pemimpin, andalah sebaik-baik saudara dan pemimpin serta paling utamanya makhluk yang datang".




Fahamlah kita dari ucapan ini, tidak ada satupun makhluk yang lebih mulia menginjak langit pertama melebihi Sayyidina Muahmmad shallallahu 'alaihi wasallam




Maka dibukalah pintu langit dunia ini".




Setelah memasukinya beliau bertemu Nabi Adam dengan bentuk dan postur sebagaimana pertama kali Allah menciptakannya. Nabi saw bersalam kepadanya, Nabi Adam menjawab salam beliau seraya berkata:




"Selamat datang wahai anakku yang sholeh dan nabi yang sholeh".




Di kedua sisi Nabi Adam terdapat dua kelompok, jika melihat ke arah kanannya, beliau tersenyum dan berseri-seri, tapi jika memandang kelompok di sebelah kirinya, beliau menangis dan bersedih. 




Kemudian Jibril AS menjelaskan kepada Rasulullah, bahwa kelompok disebelah kanan Nabi Adam adalah anak cucunya yang bakal menjadi penghuni surga sedang yang di kirinya adalah calon penghuni neraka.




Kemudian beliau naik ke langit kedua, seperti sebelumnya malaikat penjaga bertanya seperti pertanyaan di langit pertama. 




Akhirnya disambut kedatangan beliau SAW dan Jibril AS seperti sambutan sebelumnya. Di langit ini beliau berjumpa Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Yahya bin Zakariya, keduanya hampir serupa baju dan gaya rambutnya.




Nabi saw menyifati Nabi Isa bahwa dia berpostur sedang, putih kemerah-merahan warna kulitnya, rambutnya lepas terurai seakan-akan baru keluar dari hammam, karena kebersihan tubuhnya.




Nabi bersalam kepada keduanya, dan dijawab salam beliau disertai sambutan: "Selamat datang wahai saudaraku yang sholeh dan nabi yang sholeh". 




Kemudian tiba saatnya beliau melanjutkan ke langit ketiga, setelah disambut baik oleh para malaikat, beliau berjumpa dengan Nabi Yusuf bin Ya'kub. Beliau bersalam kepadanya dan dibalas dengan salam yang sama seperti salamnya Nabi Isa. 




Nabi berkomentar: "Sungguh dia telah diberikan separuh ketampanan". Dalam riwayat lain, beliau bersabda: "Dialah paling indahnya manusia yang diciptakan Allah, dia telah mengungguli ketampanan manusia lain ibarat cahaya bulan purnama mengalahkan cahaya seluruh bintang". 




Ketika tiba di langit keempat, beliau berjumpa Nabi Idris AS. Kembali beliau mendapat jawaban salam dan doa yang sama seperti Nabi-Nabi sebelumnya.




Di langit kelima, beliau berjumpa Nabi Harun bin ‘Imran AS, separuh janggutnya hitam dan seperuhnya lagi putih (karena uban), lebat dan panjang. 




Pada tahapan langit keenam inilah beliau berjumpa dengan Nabi Musa AS, seorang nabi dengan postur tubuh tinggi, putih kemerah-merahan kulit beliau. Nabi saw bersalam kepadanya dan dijawab oleh beliau disertai dengan doa. Setelah itu Nabi Musa berkata: "Manusia mengaku bahwa aku adalah paling mulyanya manusia di sisi Allah, padahal dia (Rasulullah saw) lebih mulya di sisi Allah daripada aku".




Setelah Rasulullah melewati Nabi Musa, beliau menangis. Kemudian ditanya akan hal tersebut. Beliau menjawab: "Aku menangis karena seorang pemuda yang diutus jauh setelah aku, tapi umatnya lebih banyak masuk surga daripada umatku". 




Kemudian Rasulullah saw memasuki langit ketujuh, di sana beliau berjumpa Nabi Ibrahim AS sedang duduk di atas kursi dari emas di sisi pintu surga sambil menyandarkan punggungnya pada Baitul Makmur. 




Setelah Rasulullah bersalam dan dijawab dengan salam dan doa serta sambutan yang baik, Nabi Ibrahim berpesan: "Perintahkanlah umatmu untuk banyak menanam tanaman surga, sungguh tanah surga sangat baik dan sangat luas". Rasulullah bertanya: "Apakah tanaman surga itu?", Nabi Ibrahim menjawab: "(Dzikir) Laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim". 




Dalam riwayat lain beliau berkata:




"Sampaikan salamku kepada umatmu, beritakanlah kepada mereka bahwa surga sungguh sangat indah tanahnya, tawar airnya dan tanaman surgawi adalah Subhanallah wal hamdu lillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar". 




lantas Rasul berkata setelah itu aku di naikkan ke Baitul Ma’mur yang tempatnya tepat berada diatas Ka’bah, lantas aku berkata pada Jibril, “apa ini wahai Jibril?”




Jibril berkata :




“ini Baitul Ma’mur, 70 ribu malaikat shalat setiap harinya dan keluar dari Baitul Ma’mur 70 ribu dan tidak pernah kembali lagi terus keluar 70 ribu tepat diatas ka’bah al Musyarrafah tempatnya” 




Hadirin hadirat lantas Rasul saw dinaikan lagi sampai mendengar lauhul mahfud (ketentuan takdir) sampai ia mendengar yaitu keputusan-keputusan Allah swt lantas setelah itu diperintah untuk menghadap langsung kepada Allah swt, Jibril berhenti tidak meneruskan menemani lagi, karena dalam riwayat yang lainya Jibril berkata: “aku tidak mampu terus menghadap kepada Allah karena tidak diizinkan untuk menghadap, hanya engkau yang diizinkan untuk menghadap, kalau aku naik aku akan hancur terbakar dengan cahaya hijab, dari hijabnya Allah swt, cahaya dari 70 ribu tabir cahaya yang menutupi makhluk dengan Al Khaliq, jika sampai aku ke hijab itu aku akan terbakar” kata Jibril. 




70 ribu tabir terbuka untuk Sayyidina Muhammad saw, saat itulah beliau berjumpa dengan Allah subhanahu wata'ala, dan Allah subhanahu wata'ala telah berfirman :




“Saat itu sangat dekat dia dengan Allah subhanahu wata'ala” (QS Annajm 8-9) 




Diantara sekian banyak rahasia didalam mi’raj diantaranya adalah ucapan para penyair bahwa ketika Nabi Musa a.s menghadap Allah Swt di Bukit Tursina, maka disaat itu diperintahkan kepada Musa:




“lepas kedua sandal mu wahai Musa kau berada di lembah yang suci” (QS Thaahaa 12) 




Maka disaat Rasulullah saw Mi’raj naik ke hadhratullah tidak diperintah membuka kedua sandalnya, maka berkata para penyair dalam syairnya manakah yang lebih mulia sandal atau Jibril as, jibril tidak bisa naik kehadhratullah tapi sandalnya Rasulullah naik ke hadhratullah swt, tentu jibril as lebih mulia dari sandal, sandal hanya terbuat dari kulit kambing tapi karena sandal terikat dengan kaki Sayyidina Muhammad saw walaupun terbuat dari kulit kambing karena terikat dengan kaki Rasulullah saw, demikian pakaian Rasulullah saw naik ke hadirat Allah swt, tidak diperintah membuka kedua sandalnya sebagai tanda bahwa orang-orang yang terikat hatinya dengan Rasulullah saw sangat dekat dengan Allah swt, Allah tidak perintahkan semua yang bersama Rasul untuk berpisah, bahkan sandalnya pun tidak diperintahkan dibuka menunjukkan lebih lagi hatinya yang terikat cinta pada Sayyidina Muhammad saw, mereka mendapatkan rahasia kemuliaan isra’ wal mi’raj, seluruh ummat beliau buktinya, saat kita shalat kita mengulang kembali kalimat percakapan Allah dengan Nabi Muhammad saw: yaitu : attahiyyatul Mubaarakaatu….dst. 




kalimat itu kalimat percakapan antara Allah dan Nabi Muhammad saw, kau ucapkan didalam shalat, setiap shalat kita mengucapkannya, rahasia kemuliyaan isra’ wal mi’raj tumpah pada kita 5 kali setiap harinya, ingin lebih lakukan lagi, ada shalat dhuha, ada shalat witir, ada shalat tahajjud, ada shalat shalat lainnya.




Diriwayatkah didalam Assyifa oleh Hujjatul Islam Al Qadhi’iyad rah. bahwa di saat itu Rasul shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan :




“Saat aku naik menuju Mi’raj aku melihat dilangit itu para malaikat gemuruh dengan dzikir dan tasbih dan warna dan bentuk yang belum pernah aku lihat di permukaan bumi ada warna seperti itu dan bentuk seperti itu dan kulihat hamparan surga itu bentangan tanahnya adalah Misk yang di keringkan, minyak wangi yang mengering dari indahnya di campur dengan berlian dan juga mutiara dan kemudian aku sampai ketika menembus Muntahal khalai’iq (batas akhir seluruh Makhluk) tidak lagi kudengar satu suarapun, sepi dan senyap, tidak ada lagi bentuk dan warna warni dan saat itu akupun mendengar satu suara: 




“mendekat mendekat wahai Muhammad, tenangkan dirimu dari ketakutanmu wahai Muhammad” 




maka beliau pun bersujud lalu berkata: Attahiyyatul Mubaarakaatusshalawaatutthayyibaatu lillah“




(Rahasia keluhuran, kebahagiaan, kemuliaan, keberkahan, milik Allah dan untuk Allah subhanahu wata'ala) 




Maka aku mendengar jawaban ucapan Rasul : Assalaamu alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh”, (Salam sejahtera wahai Nabi dan Rahmatnya Allah, dan keberkahannya)




Maka aku menjawab : “Assalaamu alaina, wa alaa ibaadillahisshaalihiin” (Salam sejahtera bagi kami (yaitu aku dan ummatku), dan hamba hamba yg shalih (yaitu para nabi dan malaikat) 




Beliau tidak mau mengambil rahasia salam sejahtera dari Allah sendiri, tapi ingin menyertakan Ummat Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dengan ucapan :




“salam sejahtera untuk kami dan para hamba Allah yang Shaleh yaitu para malaikat dan para Rasul dan Nabi”




Demikian sebagian ulama menjelaskan.




Saudaraku, maka di wajibkannya 50 waktu shalat, lantas beliau turun berjumpa dengan Nabiyallah Musa As,




“apa yang dikatakan Tuhanmu?”




“aku di berikan hadiah untuk membawa shalat 50 waktu”




“baliklah..!, bani Israil tidak mampu melakukan 50 waktu apalagi ummatmu, Ummatmu lebih pendek usianya, lebih lemah, lebih tidak berdaya, balik lagi minta kekurangan”




Maka Rasulullah saw kembali, ketika meminta kekurangan seraya berkata :




“Wahai Allah sungguh Ummatku sudah sangat lemah dibanding ummat-ummat sebelumnya” Maka Allah subhanahu wata'ala menguranginya 10 menjadi 40 waktu,




Dia turun pada Nabiyallah Musa, Musa a.s berkata :




“apa yang kau dapat, di kurangi berapa?”




Rasul saw menjawab : “sepuluh”




“kembalilah lagi, 40 waktu tidak mampu ummatmu, minta dikurangi lagi, minta keringanan”




Maka Nabi saw balik lagi pada Allah, dikurangkan lagi 10 hingga demikian sampai 5 waktu yaitu beliau bulak balik demi minta keringanan. 




Didalam salah satu riwayat Nabiyallah Musa a.s itu ketika beliau a.s mendengar firman Allah Swt di bukit Tursina, setelahnya ia turun dari bukit tersebut sambil menutup telingannya dari semua suara benda dan hewan karena ia tidak tahan mendengar buruknya suara benda dan hewan karena ia telah mendengar suara yang sangat begitu lembut dan indah mewakili firmannya Allah Swt hingga ia tidak kuat mendengar suara air, suara burung, suara manusia, suara hewan yang semuanya menyakiti telinga Musa a.s. Hal itu terjadi pada Nabiyallah Musa a.s di dunia. cahaya terang pun terlihat diwajah Nabiyallah Musa yang dilihat oleh istri dan anak-anaknya hingga mereka berkata, “Demikian terang benderang wajahmu.” Nabiyallah Musa As berkata : “Aku tadi mendapat firman Allah Swt.” maka ketika di malam isra’ wal mi’raj Nabi Musa a.s melihat wajah Rasulullah Saw sesaat setelah kembali dari hadapan Allah Swt dengan wajah yang terang benderang bias dari cahaya Rabbul’alamin swt, Nabiyallah Musa a.s bahkan mencari alasan supaya Muhammad kembali lagi ke atas supaya bisa balik lagi, jumpa lagi, melihat lagi cahaya keindahan Allah, wajah Beliau bagaikan cermin yang mencerminkan cahaya keagungan Ilahi, balik lagi keatas, balik lagi hingga berkali kali Nabi Musa a. bisa menikmati bias dari cahaya keindahan Rabbul’alamin yang terlihat di wajah Sayyidina Muhammad Saw dan setelah itu Nabiyallah Musa pun ketika Rasul berkata :




“sudah cukup 5 waktu tadi sudah di beri pahala 50 waktu oleh Allah subhanahu wata'ala” 




”Kembali lagi”




Rasul berkata : “aku sudah malu, karna Allah Swt sudah berfirman : “ Aku sudah lewatkan dan sudah jalankan fardhu Ku untuk hamba-hamba Ku”(Shahih Bukhari) 




Yaitu Allah Swt telah menentukannya dan tidak lagi merubahnya 5 waktu, Allah Maha tahu shalat itu 5 waktu bukan 50 waktu, namun Allah ingin memberi isyarat kepada sang Nabi dan kepada ummat beliau yaitu kita berapa besarnya rindu kita kepada Allah Swt, berapa besarnya rindu Allah pada kita, Allah meminta 50 kali kita menghadap, kita 5 kali saja ada yang masih malas dan keberatan, berapa cinta Allah kepada kita, berapa cinta kita kepada Allah, Allah minta 50 kali, karena kita lemah kita diberi 5 kali tapi sama dengan 50 waktu seakan akan 50 kali menghadap Allah, inilah cinta nya Rabbul’alamin kepada hamba-Nya. 




Rasul saw kembali membawakan kepada kita hadiah Ilahiyah berupa 5 waktu yang mulya, 5 waktu suci untuk menghadap Ilahi, jiwa dengan jiwa, ruh dengan ruh. 




Walaupun jasad kita di bumi tapi ruh dan jiwa kita dan sanubari kita saat mulai takbiratul ihram hingga salam saat itu terbuka hijab antara hamba dengan Allah swt, sebagaimana hadits Rasul saw: “Barang siapa yang melakukan shalat sungguh ia sedang berbicara dan bercakap cakap dan menghadap Allah subhanahu wata'ala




Mendapat Mandat Shalat 5 waktu




Agaknya yang lebih wajar untuk dipertanyakan, bukannya bagaimana Isra’ Mi’raj, tetapi mengapa Isra’ Mi’raj terjadi? Jawaban pertanyaan ini sebagaimana kita lihat pada ayat 78 surat al-lsra’, Mi’raj itu untuk menerima mandat melaksanakan shalat Lima waktu. Jadi, shalat inilah yang menjadi inti peristiwa Isra’Mi’raj tersebut. 




Shalat merupakan media untuk mencapai kesalehan antara seorang hamba dengan Allah. Shalat juga menjadi sarana untuk menjadi keseimbangan tatanan masyarakat yang egaliter, beradab, dan penuh kedamaian. Makanya tidak berlebihan apabila Alexis Carrel menyatakan : “Apabila pengabdian, sholat dan do’a yang tulus kepada Sang Maha pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut“. Perlu diketahui bahwa A. Carrel bukanlah orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama, tetapi dia adalah seorang dokter dan pakar Humaniora yang telah dua kali menerima nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja dan pencangkokannya. Tanpa pendapat Carrel pun, Al–Qur’an 15 abad yang lalu telah menyatakan bahwa shalat yang dilakukan dengan khusu’ akan bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang harmonis, egaliter, dan beretika.




Hikmah Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW 




Perintah sholat dalam perjalanan isra dan mi’raj Nabi Muhammad SAW, kemudian menjadi ibadah wajib bagi setiap umat Islam dan memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya. Sehingga, dalam konteks spiritual-imaniah maupun perspektif rasional-ilmiah, Isra’ Mi’raj merupakan kajian yang tak kunjung kering inspirasi dan hikmahnya bagi kehidupan umat beragama (Islam). 




Bersandar pada alasan inilah, Imam Al-Qusyairi yang lahir pada 376 Hijriyah, melalui buku yang berjudul asli ‘Kitab al-Mikraj’ ini, berupaya memberikan peta yang cukup komprehensif seputar kisah dan hikmah dari perjalanan agung Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, beserta telaahnya. Dengan menggunakan sumber primer, berupa ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadits shahih, Imam al-Qusyairi dengan cukup gamblang menuturkan peristiwa fenomenal yang dialami Nabi itu dengan runtut. 




Selain itu, buku ini juga mencoba mengajak pembaca untuk menyimak dengan begitu detail dan mendalam kisah sakral Rasulullah SAW, serta rahasia di balik peristiwa luar biasa ini, termasuk mengenai mengapa mikraj di malam hari? Mengapa harus menembus langit? Apakah Allah berada di atas? Mukjizatkah mikraj itu hingga tak bisa dialami orang lain? Ataukah ia semacam wisata ruhani Rasulullah yang patut kita teladani? 




Bagaimana dengan mikraj para Nabi yang lain dan para wali? Bagaimana dengan mikraj kita sebagai muslim? Serta apa hikmahnya bagi kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang dalam buku ini. 




Dalam pengertiannya, Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” seperti pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual. 




Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi. 




Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah SAW “berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”. 




Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Maka, dari ungkapan bersejarah inilah kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan shalat. 




Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat yang di jalankan umat islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat adalah mi’raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini. 




Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua, kesabaran yang berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mi’raj dan perintah shalat. Dan ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan. Ketiga hal diatas telah terangkum dengan sangat indah dalam salah satu ayat Al-Quran, yang berbunyi “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” 




Mengacu pada berbagai aspek diatas, buku setebal 178 halaman ini setidaknya sangat menarik, karena selain memberikan bingkai yang cukup lengkap tentang peristiwa Isra’ mikraj Nabi saw, tetapi juga memuat mi’rajnya beberapa Nabi yang lain serta beberapa wali. Kemudian kelebihan lain dalam buku ini adalah dipaparkan juga mengenai kisah Mikrajnya Abu Yazid al-Bisthami. Mikraj bagi ulama kenamaan ini merupakan rujukan bagi kondisi, kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju Allah. 




Ia menggambarkan rambu-rambu jalan menuju Allah, kejujuran dan ketulusan niat menempuh perjalanan spiritual, serta keharusan melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah. Maka, sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika perjalanan hijrah menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi “puncak” perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.




Peristiwa Isra’ Mi’raj sangat fenomenal dari segi sejarah,




karena sebelumnya tak pernah terjadi pada manusia. Sebelum Nabi Muhammad memang pernah terjadi pada benda. Benda tersebut bisa berpindah tempat dari satu tempat ke tempat yang jauh dalam orde sepersekian detik saja. Itulah peristiwa berpindahnya singgasana Ratu Balqis dari Kerajaan Saba ke Kerajaan Nabi Sulaiman. Waktu itu Nabi Sulaiman bertanya kepada para stafnya yang ketika itu memang sengaja dikumpulkan olehnya. Nabi Sulaiman mengatakan kepada para stafnya untuk melakukan suatu kejutan terhadap Ratu Balqis yang ketika itu sedang menuju ke kerajaan Nabi Sulaiman. Ternyata Nabi Sulaiman ingin memindahkan singgasana Ratu Balqis ke kerajaannya. Nabi Sulaiman bertanya kepada para stafnya siapa yang bisa melakukan hal tersebut. 




Yang mengajukan diri pertama kali adalah Jin Ifrit. Ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama ia bisa memindahkannya. Dijawab oleh Jin Ifrit bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman berdiri dari tempat duduknya dijamin singgasana itu sudah sampai di hadapannya. Tentunya hal ini sangat cepat, tapi ternyata Nabi Sulaiman belum puas akan hal tersebut. 




Kemudian Nabi Sulaiman bertanya lagi kepada para stafnya siapa yang bisa lebih cepat melakukan hal tersebut. Yang mengajukan diri kemudian ternyata adalah seorang manusia, yaitu manusia yang menguasai ilmu dari al-Kitab. Orang itu kemudian ditanya oleh Nabi Sulaiman berapa lama ia bisa melakukannya. Dijawab oleh orang itu bahwa ia bisa melakukannya sebelum Nabi Sulaiman berkedip lagi. Ternyata memang benar adanya, sebelum Nabi Sulaiman berkedip, singgasana Ratu Balqis sudah berada di hadapannya. Satu kedipan mata berarti waktunya kurang dari satu detik. Berkaitan dengan Isra’ Mi’raj, ternyata perjalanan Nabi Muhammad tersebut terjadi dalam waktu tidak sampai satu kedipan mata pun. 




Dan Isra’ Mi’raj juga fenomenal dari segi sains. Untuk menjelaskan Isra’ Mi’raj, ternyata kita harus menggali ilmu-ilmu mutakhir. Kalau ilmu-ilmu lama mungkin tak cukup untuk menjelaskan peristiwa Isra’ Mi’raj. Sehingga di zaman itu orang memersepsikan bahwa Nabi Muhammad melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj dengan mengendarai Buraq. Buraq itu kemudian ada yang menggambarkan bentuknya seperti kuda yang bersayap, ada juga yang menggambarkan bahwa kepala buraq itu menyerupai manusia, bahkan ada juga yang menggambarkan kepala buraq itu berupa wanita cantik. Pemikiran seperti ini tentunya khas abad pertengahan, karena perjalanan tercepat ketika itu adalah dengan mengendarai kuda. Tapi kuda pun tak bisa secepat itu. Karena itu digambarkanlah kuda itu bersayap. 




Dengan pendekatan secara saintifik dapatlah dijelaskan bahwa sebenarnya perpindahan Rasulullah dari satu tempat ke tempat lain pada peristiwa Isra’ Mi’raj itu terjadi secara cahaya. Peristiwa Isra’ Mi’raj ini tentunya kontroversial hampir 1500 tahun di kalangan agamawan maupun para saintis karena memang sulit menjelaskannya. Selalu ada yang tidak percaya, ragu-ragu, dan ada juga yang meyakininya sejak masa hidupnya Rasulullah hingga kini. Yang ragu-ragu sampai sekarang tentunya masih ada, bahkan di kalangan umat Islam sendiri. Ketika ditanya apakah perjalanan Nabi Muhammad dari Mekkah ke Palestina itu dengan badannya atau bukan. Ada yang mengatakan bahwa itu hanya penglihatan saja. Ada juga yang mengatakan bahwa itu hanya ruh saja. Ada yang mengatakan itu hanya mimpi. Dan ada yang mengatakan bahwa peristiwa itu memang dialami Nabi Muhammad dengan badannya. 




Yang meyakini bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu dialami Nabi Muhammad dengan badannya adalah mengacu kepada Abu Bakar Shiddiq. Ketika itu Abu Bakar ditanya apakah dia meyakini peristiwa tersebut. Lalu ditanyakan oleh Abu Bakar kepada yang bertanya itu siapa yang menceritakan hal tersebut. Dijawab oleh yang bertanya kepada Abu Bakar itu bahwa yang menceritakan hal tersebut adalah Nabi Muhammad. Dikatakan oleh Abu Bakar, bahwa kalau Nabi Muhammad yang menceritakannya, maka ia meyakininya, karena Nabi Muhammad tak pernah berbohong. 




Cara Abu Bakar memersepsi mengenai Isra’ Mi’raj ini oleh sebagian kalangan dinyatakan bahwa beragama itu tak perlu berpikir. Padahal jika dicermati bahwa sebenarnya ketika itu Abu Bakar berpikir dahulu, karena ia menanyakan bahwa siapakah yang menceritakan hal tersebut. Kalau memang Nabi Muhammad yang menceritakannya, maka ia meyakini kebenaran yang diceritakan oleh Nabi Muhammad itu. Tapi kalau yang menceritakannya bukan Nabi Muhammad tentunya Abu Bakar takkan langsung meyakini kebenaran cerita tersebut. Jadi dalam beragama memang kita harus berpikir, janganlah ikut-ikutan saja. Perintahnya sangat jelas di dalam al-Quran: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 36) 




Logika Keputusasaan tentang Isra' mi'raj 




Selama ini dalam menceritakan Isra’ Mi’raj kalau kita sudah buntu, maka kita katakanlah bahwa kalau Allah menghendaki, maka semuanya bisa saja terjadi. Kita takkan mendapatkan pelajaran apa-apa dengan cara berpikir seperti ini. Padahal peristiwa apapun yang diturunkan oleh Allah, maka di dalamnya selalu ada pelajaran untuk kita. Allah berfirman: 




Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (Q.S. Ali ’Imrân [3]: 190) 




Kita diperintahkan untuk menjadi ulil albab, yaitu orang yang menggunakan akalnya memahami segala peristiwa, sehingga ada pelajaran dari setiap peristiwa tersebut. 




Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik 




Perjalanan Isra’ Mi’raj itu terdiri dari dua etape: satu etape mendatar (horizontal), sedangkan satunya lagi adalah etape vertikal ke langit ketujuh. Etape mendatarnya diceritakan di dalam surah al-Isrâ’ ayat pertama: 




Maha Suci Allah, yang telah memerjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 1) 




Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi seperti ini: 




Pertama, ayat ini dimulai dengan kata “subhânalladzî”. Kata “subhânallâh” diajarkan kepada kita untuk diucapkan pada saat kita menemui peristiwa yang menakjubkan, yang memesona, yang hebat, yang luar biasa. Artinya, dengan memulai cerita itu menggunakan kata “subhânalladzî” sebenarnya Allah menginformasikan bahwa cerita yang akan diceritakan tersebut bukanlah cerita yang biasa, melainkan cerita tersebut adalah cerita yang luar biasa dan menakjubkan. 




Kedua, yaitu kata “asrâ”. Penggunaan kata “asrâ” memiliki beberapa makna. Yang pertama bahwa itu adalah perjalanan berpindah tempat. Jadi penggunaan kata ini mengcounter pemahaman ataupun kesimpulan yang menyatakan bahwa pada perjalanan tersebut Rasulullah tidak berpindah tempat. Yang kedua maknanya bahwa pada perjalanan itu Rasulullah diperjalankan, bukanlah berjalan sendiri, dan bukan juga atas kehendak sendiri, karena peristiwa ini terlalu dahsyat untuk bisa dilakukan sendiri oleh Rasulullah. 




Ketiga, yaitu kata “’abdihi” yang artinya adalah hamba Allah. Hamba terhadap majikan adalah seorang yang tak berani membantah, taat, seluruh hidupnya diabdikan untuk majikannya, untuk Tuhannya. Yang bisa mengalami perjalanan hebat ini bukanlah manusia yang kualitasnya sembarangan, melainkan manusia yang kualitasnya sudah mencapai tingkatan hamba Allah, yaitu manusia seperti Nabi Muhammad. Karena itulah, kita mungkin tidak bisa menerima ketika Nabi Muhammad digambarkan mendapat perintah salat 50 waktu, kemudian beliau menawar perintah tersebut kepada Allah. Anjuran tawar-menawar itu datangnya dari Nabi Musa. Digambarkan bahwa tawar-menawar itu terjadi hingga sembilan kali Nabi Muhammad bolak-balik menemui Allah, yang akhirnya perintah salat fardu yang diterima Nabi Muhammad menjadi lima waktu saja sehari semalam. 




Kita mungkin tak sampai hati membayangkan Nabi Muhammad yang begitu taat kepada Allah yang tak pernah membantah kalau mendapat wahyu dan perintah dari Allah yang dalam cerita versi ini digambarkan sampai sembilan kali tawar-menawar dengan Allah untuk mengurangi jumlah salat fardu yang diperintah-Nya. Digambarkan pada cerita versi ini bahwa Nabi Musa lebih superior dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga Nabi Muhammad dipingpong oleh Nabi Musa bolak-balik menemui Allah memohon agar jumlah salat fardu yang diperintahkan Allah itu dikurangi. Tentunya patut pula kita ingat bahwa Nabi Musa adalah nabinya bani Israil (sebetulnya juga nabinya umat Islam/umat Nabi Muhammad), tetapi orang-orang bani Israil tidak mau menerima Nabi Muhammad. Bagi bani Israil, Nabi Musa lebih hebat dibandingkan Nabi Muhammad, sehingga dalam cerita versi ini Nabi Muhammad dipingpong saja. Jadi ini indikasinya adalah hadis Israiliyat. 




Keempat , yaitu kata “laylan” yang artinya adalah perjalanan malam di waktu malam. Hal ini menunjukkan sebagai penegasan bahwa perjalanan malam itu tidak sepanjang malam, melainkan cuma sebagian kecil dari malam. Sehingga diriwayatkan di beberapa hadis, bahwa ketika Rasulullah berangkat dari rumah meninggalkan pembaringan, kemudian menuju ke Masjidil Haram, dan kemudian terjadi peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut. Ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, ternyata pembaringannya masih hangat. Hal ini menunjukkan bahwa ketika itu beliau tidak lama meninggalkan rumahnya. Di hadis yang lain juga diceritakan, bahwa ketika Rasulullah meninggalkan rumahnya, beliau menyenggol tempat minumnya kemudian tumpah, dan ternyata ketika Rasulullah kembali lagi ke rumahnya, air dari tempat minum yang disenggolnya itu masih menetes. Hal ini menunjukkan bahwa sebetulnya Isra’ Mi’raj yang dialami Rasulullah itu berlangsung dalam waktu yang sebentar dan cepat. 




Bayangkanlah, perjalanan semalam saja masih sulit diterima, apalagi perjalanan yang hanya sekejap yang itu mungkin hanya beberapa menit, atau mungkin hanya beberapa detik. 




Kelima, minal masjidil harâmi ilal masjidil aqsha (dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa). Mengapa perjalanan Rasulullah ini dari masjid ke masjid? Mengapa pula tidak dari rumahnya atau dari Gua Hira ke tujuan lain yang bukan masjid (dari tempat yang bukan masjid ke tempat lain yang bukan masjid juga)? 




Patut diketahui, bahwa masjid adalah tempat yang menyimpan energi positif sangat besar. Dengan kamera aura yang bisa memfoto dan memvideokan sesuatu, jika ada orang yang sedang berzikir ataupun membaca al-Quran, ternyata orang tersebut memancarkan cahaya yang terang benderang. Berbeda halnya dengan orang yang sedang marah, depresi, ataupun stress, maka orang tersebut akan memancarkan cahaya berwarna merah. Warna aura ini bertingkat, yaitu dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu, sampai warna putih. Setiap kita memancarkan energi. Akan terpancar energi dari setiap aktivitas yang kita lakukan, dan energi itu menancap di tempat kita berada ketika itu. Energi itu membekas, sehingga seluruh aktifitas kita akan terekam. Allah berfirman: 




Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qâf: 18) 




Raqib dan Atid kemudian dijadikan sebagai nama malaikat yang mencatat amal kebaikan dan keburukan. Rekaman tersebut di ruang tiga dimensi, dan suatu ketika akan diputar lagi. Allah berfirman: 




Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amattajam. (Q.S. Qâf: 22) 




Di pengadilan akhirat itu, manusia akan bisa melihat seluruh perbuatan yang dilakukannya di dunia. 




Masjid mengandung energi positif sangat besar, terutama masjid yang sering digunakan sebagai tempat beribadah. Semakin sering, semakin banyak, dan semakin khusyuk, maka energinya akan semakin besar. Rasulullah berangkat dari masjid menuju ke masjid. Terminal keberangkatannya di masjid. 




Keenam, bâraknâ hawlahu (yang telah Kami berkahi sekelilingnya). Allah memberkati sepanjang perjalanan itu, hal ini karena perjalanan itu memang membahayakan. Dengan keberkahan Allah kondisi Nabi tetap membaik. 




Ketujuh, linuriyahû min âyâtinâ (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami). Dalam perjalanan isra’ mi’raj ketika itu Rasulullah ditunjukkan berbagai peristiwa. Mengapakah bisa seperti itu, sedangkan itu adalah waktu yang sangat singkat. Itulah yang disebut sebagai relativitas waktu, yaitu ada perbedaan waktu antara orang yang berkecepatan tinggi dengan orang yang berkecepatan rendah. Kita mengetahui, bahwa antara orang yang tidur dengan orang yang sadar (terjaga) itu waktunya berbeda. Misalnya, ada yang tiba-tiba terlelap tidur yang itu hanya sebentar (mungkin hanya beberapa detik), lalu yang tertidur itu dibangunkan. Yang tertidur itu pun terbangun, lalu ia bercerita baru saja ia bermimpi. Ceritanya itu begitu panjang, seakan-akan mimpinya itu sangat lama, padahal ia hanya tertidur beberapa detik saja. Begitupun dengan Rasulullah, meskipun perjalanan yang dialaminya itu hanya berlangsung sepersekian detik, tetapi beliau ditampakkan berbagai macam peristiwa oleh Allah. Hal ini karena yang memberjalankan Rasulullah adalah Allah yang tak lain adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Kemahamendengaran dan kemahamelihatan Allah itu ditularkan kepada Nabi Muhammad, sehingga kemampuan Rasulullah untuk melihat dan mendengar menjadi lebih baik dari sebelumnya. 




Dan kata kunci yang terakhir ( kedelapan ) adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41). 




Selanjutnya mengenai Mi’raj diceritakan pada surah an-Najm 14-18: 




(14) (yaitu) di Sidratil Muntaha. (15) Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (16) (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (17) Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (18) Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. (Q.S. an-Najm: 14-18) 




Di dekat Sidratil Muntaha, Rasulullah menyaksikan surga. Tentunya tidak sembarangan orang yang bisa menyaksikan surga, karena sudut padangnya harus tertinggi di alam semesta ini. Dari dunia tidak kelihatan, kalaupun kelihatan hanya sebagian. Jadi, kalau kita merasakan kebahagiaan, maka hal itu mungkin kita telah mendapatkan kebahagiaan surga, namun hanya sedikit sekali perbandingannya, mungkin bagaikan setetes air dibandingkan dengan samudera, itu pun setetes airnya dibagi lagi tak berhingga. Sebaliknya kalau kita menderita, maka itu adalah penderitaan neraka, namun skalanya tak berhingga. 




Lantas ke manakah Rasulullah melanglang buana? Menyeberangi langit ataukah beliau langsung masuk ke Sidratil Muntaha yang kita tidak tahu di mana letaknya. 




Betapa besarnya langit angkasa semesta. Apakah langit? Langit adalah seluruh ruangan alam semesta ini. Matahari dikelilingi oleh planet-planet, bumi tempat kita tinggal adalah termasuk salah satu planet yang mengitari matahari. Matahari yang tadinya kelihatan besar, semakin jauh kita lihat maka semakin kecil. Ketika matahari yang kita terlihat itu semakin kecil, maka biasanya kita tidak lagi menyebutnya matahari, melainkan kita menyebutnya bintang. 




Matahari itu ternyata demikian banyaknya, seluruh bintang-bintang itu sebenarnya adalah matahari. Diperkirakan jumlahnya trilyunan. Matahari-matahari (bintang-bintang) itu bergerombol membentuk galaksi. Galaksi adalah gerombolan matahari (bintang), di tengahnya ada matahari yang lebih besar, dan di sekitarnya ada sekitar 100 milyar matahari (bintang). 




Bintang-bintang itu bergerombol mengitari pusatnya membentuk suatu galaksi. Galaksi tempat bumi dan matahari kita berada adalah galaksi Bimasakti. Di sebelah galaksi Bimasakti ada galaksi Andromeda yang isinya diperkirakan juga 100 milyar matahari. Galaksi-galaksi itu diperkirakan trilyunan jumlahnya. Para ahli astronomi bahkan sampai kehabisan nama untuk menyebut galaksi karena saking banyaknya. 




Galaksi-galaksi itu ternyata bergerombol-gerombol lagi membentuk gerombolan yang lebih besar yang dinamakan sebagai supercluster. Isinya diperkirakan 100 milyar galaksi. Apakah supercluster adalah benda terbesar dan terjauh di alam semesta, hingga kini belum ada yang mengetahuinya. 




Jarak bumi ke matahari adalah 150 juta kilometer. Kalau dilewati cahaya maka dibutuhkan waktu 8 menit. Jadi, kalau kita melihat matahari terbit yang sinarnya sampai ke mata kita, maka cahaya yang sampai ke mata kita itu sebetulnya bukanlah matahari sekarang, melainkan matahari 8 menit yang lalu. Cahaya matahari itu berjalan selama 8 menit barulah sampai ke mata kita. Sementara bintang kembar (Alpha Century) jaraknya dari bumi adalah 4 tahun perjalanan cahaya. Kalau kita melihat bintang kembar pada malam hari, maka sebetulnya itu bukanlah cahaya bintang kembar saat itu, melainkan bintang 4 tahun yang lalu. Di belakangnya lagi ada bintang yang berjarak 10 tahun perjalanan cahaya. Bayangkanlah kalau kita mau menuju bintang berjarak 10 tahun cahaya menggunakan pesawat tercepat yang dimiliki manusia, misalnya menggunakan pesawat ulang alik yang kecepatannya 20 ribu kilometer per jam. Apakah yang kemudian terjadi? Ternyata dibutuhkan waktu 500 tahun untuk sampai ke bintang tersebut. 




Ternyata bumi kita ini bukanlah benda besar di alam semesta, melainkan benda yang sangat kecil. Di belakang bintang berjarak 10 tahun cahaya ada bintang berjarak 100 tahun cahaya, di belakangnya lagi ada yang berjarak 1000 tahun cahaya, yang berjarak 1 juta tahun cahaya, dan juga yang berjarak 1 milyar tahun cahaya. Yang terjauh diketahui oleh ilmuwan Jepang yaitu yang berjarak 10 milyar tahun cahaya. Jadi, bumi kita ini hanyalah sebutir debu di padang pasir alam semesta raya. 




Jadi, manusia adalah debunya bumi, bumi debunya tata surya, tata surya debunya galaksi Bimasakti, galaksi Bimasakti debunya supercluster, supercluster debunya langit pertama, karena langit itu ada tujuh (sab’a samawâti). Ilmu astronomi hanya mengetahui langit itu satu, tapi al-Quran mengatakan langit itu ada tujuh, karena menurut al-Quran bahwa langit yang kita kenal itu yang banyak bintang-bintangnya barulah langit dunia (langit pertama). Allah berfirman:Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, (Q.S. ash-Shâffât: 6) 




Sudah sedemikian besarnya langit pertama, ternyata langit pertama adalah debunya langit kedua, karena langit kedua itu besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit pertama. Langit ketiga besarnya tak berhingga kali dibandingkan langit kedua. Begitu seterusnya setiap naik ke langit selanjutnya selalu tak berhingga kali besarnya dibandingkan langit sebelumnya, hingga langit ketujuh tak berhingga kali dibandingkan langit keenam, serta tak berhingga pangkat tujuh dibandingkan langit pertama. 




Jadi, langit pertama adalah debunya langit kedua, langit kedua debunya langit ketiga, seterusnya hingga langit ketujuh, dan seluruh langit yang tujuh beserta seluruh isinya hanyalah debu atau lebih kecil lagi di dalam kebesaran Allah. Beginilah cara al-Quran menggiring pemahaman kita tentang makna Allahu Akbar. Semestinya menurut al-Quran, bahwa belajar mengenal Allah itu adalah dari seluruh ciptaan-Nya. Dengan begitu kita akan mengetahui betapa Maha Besarnya Dia, betapa Maha Menyayangi, Maha Teliti, Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, tak cukup hanya dari lafaznya, karena kita takkan mendapatkan rasa yang sesungguhnya. 




Bayangkanlah betapa Rasulullah melakukan perjalanan menuju langit ketujuh. Sebetulnya Rasulullah berjalan ke langit ketujuh itu apakah melintasi ruang angkasa atau tidak? 




Kalaupun badan Rasulullah diubah menjadi cahaya, maka dari bumi menuju bintang Alpha Century yang berjarak 4 tahun cahaya, maka Rasulullah membutuhkan waktu 4 tahun untuk sampai ke bintang Alpha Century, untuk menempuh yang berjarak 10 tahun cahaya dibutuhkan waktu 10 tahun, untuk menempuh yang berjarak 10 milyar tahun cahaya dibutuhkan 10 milyar tahun. Sepertinya Rasulullah tidak melewati ruang angkasa, melainkan ada ruangan langsung yang tidak ke sana (tidak ke ruang angkasa) tetapi memahami semua itu. Di manakah itu? 




Ternyata langit kedua terhadap langit pertama tidak bertumpuk seperti kue lapis (dalam konteks Mi’rajnya Rasulullah). Sering kita berpendapat dari cerita-cerita klasik bahwa Nabi Muhammad dan malaikat Jibril menuju ke langit ketujuh dengan cara naik menggunakan tangga, kemudian bertemu langit yang digambarkan seperti langit-langit, kemudian di situ ada pintunya dan ada penjaganya. Lalu Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad ditanya mau ke mana oleh si penjaga langit. Dijawab oleh Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad bahwa akan bertemu dengan Allah. Kalau begitu, berarti Allah itu jauh sekali. Padahal di dalam al-Quran digambarkan bahwa Allah itu dekat, dan Nabi Muhammad mengetahui itu. Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (Q.S. Qâf: 16) 




Bahkan dinyatakan juga di dalam al-Quran: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah [2]: 115) 




Timur dan Barat milik Allah. Ke manapun kita menghadap, maka kita berhadapan dengan Allah, karena Allah sedang meliputi kita. Dan Rasulullah tahu persis akan hal itu. Jadi untuk bertemu Allah tak perlu ke Sidratil Muntaha. Dan memang Rasulullah ke Sidratil Muntaha bukanlah untuk menemui Allah, karena Allah sudah meliputi Rasulullah, juga meliputi kita semua di manaun kita berada. 




Tujuan isra’ mi’raj 




Isra’ Mi’raj itu sebetulnya bertujuan membawa Rasulullah ke satu posisi yang paling tinggi untuk memahami betapa dahsyatnya ciptaan Allah. Untuk apakah semuanya itu? Yaitu untuk memotivasi Rasulullah. Mengapakah demikian? Karena sebelum Isra’ Mi’raj, Rasulullah sedang berada pada titik terendah perjuangannya yang paling sulit, yaitu ketika dijepit oleh orang kafir dan diembargo secara ekonomi. Di saat-saat itu justru Allah mewafatkan paman Rasulullah (Abi Thalib) dan mewafatkan istri Rasulullah (Khadijah). Hal ini bukannya tidak sengaja, melainkan disengaja oleh Allah, karena memang tak ada yang kebetulan di dalam kehidupan ini. 




Semuanya itu justru terjadi pada saat Rasulullah berada pada titik nadir perjuangannya. Beliau berharap memindahkan front syi’arnya ke luar kota (yaitu ke Tha’if). Beliau berharap disambut baik oleh penduduk Tha’if, tapi malah yang terjadi beliau dilempari batu sampai berdarah-darah. Maka kemudian Allah memompa kembali semangat beliau, yaitu dengan cara Isra’ Mi’raj. “Muhammad, engkau adalah utusan Allah,” mungkin seperti itulah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut. 




Ketika Rasulullah kembali dari Isra’ Mi’raj, maka setahun kemudian terjadilah titik balik perjuangannya, yaitu beliau bersama pengikutnya hijrah ke Madinah, kemudian dari Madinah bisa menaklukkan kota Mekkah. 




Peringatan : 




Kisah Isra' dan Mi'raj Nabi adalah benar karena yang memberitakannya adalah Al-Quran kitab suci kita. 




Kisah Mi'raj Nabi adalah benar walau tidak kasat oleh logika kita sebab dalam agama kebenaran yang dipakai adalah kebenaran wahyu bukan akal yang dieksprimen dulu, wahyu lebih tinggi dari logika. 




Kebenaran isra' dan mi'raj nabi wajib di yakini dan adapun caranya Nabi muhammad dan bagaimana atau kaifiyyat Nabi keatas langit ke 7 sampai Sidratul Muntaha tidak menjadi kewajiban mengetahuinya, yang penting percaya dan yakin didalam hati adapun cara yang ril dan sebenarnya wallahua'lam sebab banyak pendapat dalam hal ini. 




Logikanya Isra' itu benar dan logis. Jika Nabi Muhammad adalah milik Allah dan langit serta alam ini milik Allah dan dalam kondisi ini Allah yang menghendaki, apa susahnya? Sederhananya seperti ini. Jika anda punya HP lalu anda taruh di lantai dan mau anda pindahkan ke saku, ke lemari, ke atas rak buku, tidak susah bukan? Karena HP itu adalah milik anda. Coba kalau teman anda yang punya? Tidak bisa anda taruh sesuka hati anda.Demikianlah pembahasan Mengenai Isra Miraj yang dapat admin samapaikan pada kesempatan kali ini, Sebelumnya admin mau minta maaf bila ada penulisaan atau tutur kata yang salah mohon maaf yang sebesar besar nya. Semoga bermanfaat dan Tentunya dalam perjalanan isra miraj banyak sekali pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik. dan semoga kita makin sadar serta makin taat kepada Alloh Swt untuk melaksanakan segala yang di perintah nya. dan Semoga kita mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Santri Lampung

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.
 
Desain Kalender 2025 Download

Ads by Google Pasang Iklan Klik Disini
Daftar Baca :
Sαƙʅαɾ Jιɯα - ⓢⓤⓑⓐⓡⓓⓘ.ⓒⓞⓜ Developed by Jago Desain