A. Bolehkah berteman dengan Non Muslim?
Apa boleh kita berteman dengan Non Muslim? Apa ada Hadis atau Al-Quran?
Berteman dengan non muslim adalah amalan yang diharamkan. Allah Taala berfirman yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.†(QS. Al-Mumtahanah: 1) Allah Ta’ala juga mengingatkan di dalam firman-Nya yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.†(QS. Ali Imran: 118) Semakna dengannya ayat ke-28:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)â€.
Allah Ta’ala juga menjadikan amalan ini bertentangan dengan keimanan orang tersebut kepada Allah dan hari akhir. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.†(QS. Al-Mujadilah: 22)
Bahkan Allah Ta’ala menjadikannya sebagai ciri-ciri orang munafik di dalam firman-Nya yang artinya, “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong.†(QS. An-Nisa`: 138-139) Semakna dengannya ayat ke-144:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?â€
Allah Ta’ala juga tidak menggolongkan orang yang berteman dengan non muslim ke dalam para pengikut Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka.†(QS. Al-Mujadilah: 14)
Hanya saja, walaupun seorang muslim dilarang untuk berteman dengan non muslim, itu tidak berarti seorang muslim boleh berlaku zhalim kepada mereka. Karena berbuat baik kepada non muslim adalah dibolehkan bahkan disyariatkan, selama perbuatan baik itu lahir bukan karena kasih sayang dan loyalitas kepada non muslim tersebut, akan tetapi lahir semata-mata atas dasar kemanusiaan atau karena non muslim tersebut berbuat baik kepada kita sehingga kita membalasnya atau karena non muslim tersebut tidak mengganggu kita.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.†(QS. Al-Maidah: 8)
Juga dalam firman-Nya yang artinya, “Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.†(QS. At-Taubah: 7)
Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.†(QS. Al-Mumtahanah: 8)
Sumber: al-atsariyyah.com
B. Mengucapkan Salam kepada Ahli Kitab
Pertanyaan:
Hadits “Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani, dan desaklah mereka ke bagian jalan yang paling sempitâ€, bagaimana penjelasannya? Bagaimana seorang muslim mengumpulkan hadits ini dengan perlakuan baik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang kafir, berupa menengok orang yang sakit di antara mereka, menerima hadiah dari mereka, juga memberikan gamis beliau kepada Abdullah bin Abdullah bin Ubai bin Salul, agar dia mengafani bapaknya dengan gamis itu?
Jawab:
Teks hadits sebagaimana dalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut:
“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani. Dan bila kalian bertemu dengan salah seorang mereka di jalan, desaklah mereka ke bagian yang paling sempit.â€
Dalam sebuah riwayat Al-Imam Muslim:
“Bila kalian bertemu dengan seorang Yahudi…â€
Dalam riwayat yang lain:
“Bila kalian bertemu dengan ahli kitab…â€
Dalam riwayat yang lain lagi:
“Bila kalian bertemu mereka…â€
Dan tidak disebutkan tentang orang musyrik sedikitpun.
Makna hadits di atas adalah, tidak boleh memulai mengucapkan salam kepada orang kafir, karena larangan di sini berkonsekuensi pengharaman hal itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memulai mengucapkan salam kepada mereka, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani.â€
Adapun bila mereka mengucapkan salam terlebih dahulu maka dijawab salam mereka dengan ucapan:
‘Wa’alaikum’
Artinya: “Dan atas kalian juga.â€
dengan dalil hadits yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya:
“Bila ahli kitab mengucapkan salam kepada kalian, katakanlah: ‘Wa’alaikum’.â€
An-Nawawi rahimahullahu telah menjelaskan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dan bila kalian bertemu dengan salah seorang mereka di jalan, desaklah mereka ke bagian yang paling sempit.â€
Beliau berkata:
“Pengikut mazhab kami (ulama mazhab Syafi’iyah) mengatakan: ‘Bagian jalan yang lapang tidak disisakan untuk seorang kafir dzimmi. Bahkan dia didesak ke bagian yang paling sempit, bila kaum muslimin sedang melewati jalan itu. Bila jalan itu tidak ramai, maka tidak mengapa.’ Mereka juga mengatakan: ‘Hendaknya desakan itu tidak membuatnya jatuh ke jurang, atau membuatnya menabrak tembok, dan semacamnya’.â€
Tidak ada pertentangan antara hadits ini dengan muamalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang baik terhadap orang-orang kafir, berupa menengok orang yang sakit di antara mereka, menerima hadiah-hadiah dari mereka, juga memberikan gamis beliau untuk mengafani Abdullah bin Ubai bin Salul (seorang munafik, ed.). Karena muamalah yang baik ini bertujuan melunakkan hati mereka, mengajak dan mendorong mereka kepada Islam.
Garis besarnya, hal-hal yang termasuk dalam bab berbuat baik dan membalas perbuatan baik dengan perbuatan baik pula, kita lakukan terhadap mereka, untuk melunakkan hati mereka. Hendaklah tangan kaum muslimin berada di atas.
Adapun hal-hal yang termasuk dalam bab menampakkan pemuliaan, pengagungan, peninggian derajat, maka kita tidak bermuamalah dengan mereka dalam hal-hal tersebut. Seperti memulai mengucapkan salam untuk menghormati mereka, memberikan bagian jalan yang lapang kepada mereka untuk memuliakan mereka. Mereka tidak berhak menerimanya disebabkan kekafiran mereka. Bilamana dikhawatirkan timbul kesamaran dalam pembicaraan, maka jawablah dengan ucapan yang global, tanpa kekakuan dan kekejian. Seperti, menjawab salam mereka dengan kalimat ‘Wa alaikum’.
Dengan ini, terkumpullah (pengamalan) dua hadits tersebut.
Wabillahit taufiq, washallalahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.
Sumber: www.asysyariah.com
C. Hukum Tinggal Di Negara Kafir
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya : Apa hukum tinggal di negara kafir?
Jawab: Tinggal di negara kafir merupakan bahaya besar terhadap agama, akhlak, moral dan adab seorang muslim. Kita -juga selain kita- telah menyaksikan banyaknya penyimpangan dari orang-orang yang tinggal di sana, mereka kembali dengan kondisi yang tidak seperti saat mereka berangkat. Mereka kembali dalam keadaan fasik, bahkan ada yang murtad, keluar dari agamanya dan menjadi kufur terhadap Islam dan agama-agama lainnya, na’udzu billah, sampai-sampai mereka menentang secara mutlak dan mengolok-olok agama dan para pemeluknya, baik yang lebih dulu darinya maupun yang kemudian. Karena itu, hendaknya, bahkan seharusnya, mewaspadai hal itu dan menerapkan syarat-syarat yang dapat menjaga hawa nafsu dari perusak-perusak tersebut. Maka, tinggal di negara kafir harus memenuhi dua syarat utama:
Syarat Pertama:
Tetap memelihara diri pada agamanya, yaitu dengan memiliki ilmu, keimanan dan kekuatan tekad yang mengokohkannya tetap pada agamanya serta waspada terhadap penyimpangan dan penyelisihan, dan hendaknya pula terlindungi dari permusuhan dan kebencian kaum kuffar serta menjauhkan diri dari loyal dan mencintai mereka, karena hal ini akan meng-gugurkan keimanannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.†[Al-Mujadilah: 22]
Dalam ayat lainnya disebutkan:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-oang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, ‘ Kami takut akan mendapat bencana. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.†[Al-Ma’idah: 51-52].
Dalam sebuah hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan, bahwa barangsiapa mencintai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka: Seseorang itu bersama orang yang dicintainya. “[1]
Mencintai musuh-musuh Allah termasuk bahaya terbesar terhadap seorang muslim, karena mencintai mereka melahirkan sikap menyamai dan mengikuti mereka, atau minimal tidak mau mengingkari mereka, karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, yang maksudnya bahwa barangsiapa mencintai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.
Syarat Kedua:
Tetap menunjukkan agamanya, yaitu menampakkan simbol-simbol Islam tanpa ada halangan, sehingga tidak terhalangi untuk melaksanakan shalat, shalat Jum’at dan mengikuti berbagai perkumpulan jika ada jama ‘ah lain bersamanya yang mengikuti shalat Jum’at. Tidak terhalangi untuk menunaikan zakat, puasa, haji dan syi’ar-syi’ar lainnya. Jika tidak memungkinkan melaksanakan itu, maka tidak boleh tetap tinggal di sana, bahkan saat itu ia wajib hijrah (pergi dari sana).
Dalam kitab Al-Mughni (hal 457 juz 7, dalam bahasan tentang golongan manusia sehubungan dengan hijrah) disebutkan:
Pertama; wajib atasnya, yaitu yang mampu melaksanakannya dan tidak memungkinkan baginya menampakkan agamanya dan tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya bila tetap tinggal di antara kaum kuffar. Untuk orang yang seperti ini wajib atasnya hijrah, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini.’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)’. Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali’.†[An-Nisa: 97]
Ini adalah ancaman keras yang menunjukkan wajib. Lagi pula, karena melaksanakan kewajiban agama hukumnya wajib atas yang mampu, sehingga hijrah termasuk sarana dan pelengkap kewajiban. Apa pun yang menyebabkan tidak sempurnanya suatu kewajiban kecuali dengannya, maka hal itu wajib pula.
Setelah terpenuhi kedua syarat utama ini, tinggal di negara kafir terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Tinggal di sana untuk menyeru manusia kepada Islam dan mengajak mereka untuk menyukainya. Yang demikian ini termasuk jihad, hukumnya fardhu kifayah bagi yang mampu dengan syarat bisa melaksanakan dakwah dan tidak ada yang menghalanginya, karena menyeru kepada Islam termasuk kewajiban agama dan merupakan jalannya para rasul. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memerintahkan untuk menyampaikan apa yang berasal dari beliau di setiap masa dan tempat, beliau bersabda: “Sampaikanlah apa yang berasal dariku walaupun hanya satu ayat.â€[2]
Kedua: Tinggal di sana untuk mempelajari kondisi kaum kuffar, mengenai kerusakan aqidah mereka, kebatilan cara beribadah mereka, penyimpangan moral dan kekacauan perilaku mereka, hal ini dimaksudkan agar nantinya bisa memperingatkan manusia dari tipu daya mereka dan menjelaskan kepada orang-orang yang mengagumi mereka tentang hakikat kondisi mereka. Yang ini juga termasuk jihad, karena mengandung unsur peringatan terhadap kekufuran dan para pelakunya serta mencakup anjuran untuk menyukai Islam.
Footnote:
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab (6168), Muslim dalam Al-Birr (2640) dari hadits Ibnu Mas’ud. Al-Bukhari (6170), Muslim (2641) dari hadits Abu Musa. Juga yang semakna dengan ini diriwayatkan olen Al-Bukhari (6171), Muslim (2639) dari hadits Anas.
[2]. HR. Al-Bukhari dalam Ahadits Al-Anbiya (3461)