Download Aplikasi SantriLampung.

You may want to read this post:

Memahami Konsepsi Taqdir Allah

Sebelum membahas mengenai taqdir, ada dua ayat yang harus dipahami terlebih dahulu. Tanpa memahami dua ayat ini dengan baik, akan sukar rasanya mengerti masalah taqdir. 

Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa) dan (sebelum itu) 'Arsy-Nya berada di atas air untuk menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amal perbuatannya.  (Huud (11):7)

Bagian akhir ayat di atas bermakna bahwa manusia dihadapkan kepada ujian besar yang kemudian akan menentukan nasibnya. Bagaimanakah nasib itu? Allah berfirman dalam ayat lain: 

Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi untuk membalas orang-orang yang berbuat jahat dengan apa yang telah mereka perbuat, dan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan anugerah yang lebih baik. (An-Najm (53):31) 

Dari ayat tersebut orang memperoleh pengertian yang jelas, bahwa yang berbuat jahat akan menerima hukumannya, dan yang berbuat baik akan menerima pahala. Hal ini merupakan suatu keadilan yang tak dapat dibantah. Allah telah berfirman, bahwa Dia telah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk menunjukkan jalan lurus kepada mereka. Sebelum Allah mengutus para Rasul, manusia sudah dikaruniai lebih dahulu akal untuk dapat berpikir dengan baik, dan dengan akal itu manusia dapat menentukan pilihan dengan bebas. Dengan semuanya itu, Allah tidak dapat menerima alasan manusia untuk mengelak dari tanggung jawab pada Hari Kiamat kelak, dengan mengatakan:

Sesungguhnya kami lengah mengenai itu atau kalian akan mengatakan: "Sesungguhnya para orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami adalah keturunan yang datang sesudah mereka. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan batil orang-orang terdahulu?". (Al-A'raaf (7):172-173.)

Bacajuga : Free will dalam Taqdir

Dengan adanya ayat-ayat sebagaimana yang dikemukakan itu (Hud 7 dan An Najm 31), mestinya tak ada alasan apa pun yang dapat diterima atas pembangkangan yang dilakukan. Walau soalnya telah segamblang itu, namun ada juga orang-orang keblinger yang mengatakan: "Tidak ada apa pun juga selain Allah, tak ada perbuatan apa pun selain Allah, jari-jari Allah berada di belakang segala sesuatu, Allah-lah yang menggerak-kan segala sesuatunya."

Hal melemparkan tanggung jawab atas akibat perbuatannya kepada qadar (taqdir), disebabkan karena salah pengertian dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. Mereka mencampur-adukan antara soal "kebebasan" (ikhtiar) dan soal "keterpaksaan" (jabr), baik yang mengenai dirinya sendiri maupun mengenai soal-soal yang berada di luar dirinya. Jantung kita terus menerus berdenyut menunaikan tugasnya tanpa seizin kita dan di luar kemauan kita. Apakah demikian pula gerak lidah kita pada saat kita berbicara? Di antara kita ada yang kulitnya putih dan ada pula yang berwarna hitam. Apakah orang harus bertanggung jawab atas warna kulitnya, seperti ia harus bertanggung jawab atas sikapnya yang iri hati terhadap kenikmatan yang ada pada orang lain; atau atas sikapnya yang mengejek orang lain yang menderita cacat badan?

Contoh lain yang menggambarkan adanya kehendak manusia dan adanya kehendak Ilahi, misalnya seorang petani yang menanam pohon ganja, atau tanaman narkotik lainnya. Di depan pengadilan ia membela diri dengan mengatakan: "Bagaimanakah saya harus bertanggung jawab atas tanaman yang ditumbuhkan oleh Allah? Memang benar saya telah menanam bibitnya di tanah, tetapi siapakah yang menumbuhkannya hingga ia berdaun dan berbuah? Bukankah Allah telah berfirman :"Apakah kalian melihat benih yang kalian tanam? Kaliankah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?"

Banyak orang yang memecahkan masalah-masalah agama dengan logika seperti itu! 

Kita mengetahui, jika orang hendak berangkat ke mesjid atau ketempat maksiat, jantungnya tetap berdenyut berdasarkan taqdir Tuhan, susunan syaraf otaknya yang mengeluarkan perintah kepada kaki supaya bergerak juga berdasarkan taqdir Tuhan, dan bumi yang diinjak tidak diguncang gempa dan tidak lenyap karena kehendak Tuhan; apakah semuanya itu berarti Tuhan yang mendorong orang itu pergi ke mesjid atau ke tempat maksiat? Tidak, sama sekali tidak! Manusia bebas berkehendak. la 'dipaksa' oleh kehendaknya yang bebas itu, dan dengan kehendaknya itu ia bebas menentukan pilihan yang benar, dan dengan pilihannya yang benar itu ia memperoleh balasan yang baik. Tuhan membantu manusia untuk memperoleh apa yang dikehendaki bagi dirinya, Tuhan yang mematangkan proses pertumbuhan benih di tanah, dan Tuhan yang membantu manusia untuk dapat membuat arus listrik yang menerangi rumahnya. Semuanya itu tidak menghilangkan tanggung jawab manusia atas apa yang telah diperbuatnya.

Maka barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.  (Al-Kahfi (18):29) 

Jadi jelaslah, seseorang dengan naluri "kehendak"nya itu dapat menempuh jalan yang terang (kebajikan), dan dapat pula menempuh jalan yang gelap (kejahatan), dapat bersyukur dan dapat pula ingkar.

Bila kita baca firman Allah berikut:

Demikianlah Allah menyesatkan siapa saja menurut kehendak-Nya, dan memberi hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan tidak ada yang mengetahui balatentara Tuhanmu melainkan Dia. (Al-Muddatstsir (74):31)

Ayat di atas tidaklah dapat diartikan bahwa Allah dengan semena-mena menentukan jalan hidup manusia. Jauh nian Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Adil berbuat seperti itu! Tapi lihatlah siapa yang dimaksud untuk disesatkan-Nya dalam firman-firman-Nya berikut : 

Dan Allah menyesatkan orang-orang zalim, dan Allah berbuat menurut kehendak-Nya. (Ibrahim (14):27)

Demikianlah Allah menyesatkan orang yang melampaui batas dan ragu-ragu. (Al-Mu'min (40):34)

Dan Allah tidak memberi hidayah (petunjuk)kepada orang pendusta yang sangat ingkar. (Az-Zumar (39):3)

Bacajuga : Pemahaman Taqdir

Jadi pada dasarnya, sebelum Allah menghendaki kesesatan seorang manusia, manusia itu sudah lebih dahulu menyesatkan dirinya. Demikian juga bila kita ingin tahu siapakah yang akan diberi hidayah oleh-Nya, dapat dilihat dalam ayat-ayat berikut :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, akan diberi hidayah oleh Tuhan mereka atas keimanan mereka. (Yunus: (10):9)

Dan barangsiapa beriman kepada Allah, hatinya diberi hidayah oleh-Nya. (At-Taghaabun (64):11)

Allah memberi hidayah kepada orang-orang yang kemball (bertobat) kepada-Nya, mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan selalu ingat kepada Allah. (Ar-Ra'd (13)::27, 28)

Bacajuga :  Dasar Pemahaman Taqdir

Penjelasan hal ini janganlah diartikan sebagai mencari-cari, karena memang sesungguhnyalah ayat-ayat Al-Qur'an itu saling menafsirkan, saling membenarkan dan saling menyempurnakan. Apakah dengan demikian dapat diartikan bahwa penentuan lebih dahulu dari Allah atas segala kejadian di dunia ini, baik yang menimpa alam atau pun diri kita, tidak ada? Lihat firman Allahberikut: 

Tidak ada sesuatu kejadian pun terjadi di bumi dan tidak pula pada diri kamu melainkan telah ada dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami melaksanakannya. Sesungguhnya hal itu bagi Allah adalah perkara mudah. Agar kamu tidak terlalu sedih atas sesuatu yang luput dari kamu, dan tidak perlu terlalu gembira atas sesuatu yang dikaruniakan-Nya kepada kamu. Allah tidak suka kepada setiap orang yang angkuh dan banyak membanggakan diri. (Al-Hadiid (57):22, 23) 

Oleh karena itu, Jadi jelas bahwa taqdir itu memang ada, dalam artian hasil akhir dari upaya manusia berada di tangan Tuhan! Dan apa pun taqdir yang menimpa seorang Muslim, tidak perlu dipermasalahkan karena tetap saja ia dituntut untuk melaksanakan makna "Islam", yaitu menyerahkan diri seutuhnya tunduk patuh kepada segala kehendak dan ketentuan-Nya (dengan perkataan lain, ditaqdirkan bagaimana pun ia tidak terbebas dari kewajiban menjalankan "aturan main" yang dibuat-Nya). Itulah inti ajaran semua agama yang dianut oleh seluruh Nabi-nabi terdahulu. Dengan demikian, jelaslah, apa pun taqdir yang menimpa manusia, itu adalah merupakan ujian-Nya apakah ia dapat tetap taat menjalankan aturan main-Nya atau tidak. Sebagai raja atau pun sebagai rakyat jelata, pada hakikatnya adalah sama saja, karena kedua-duanya masing-masing mengemban amanah (aturan main) yang wajib dilaksanakan dan kelak harus dipertanggung jawabkan, hanya saja tentunya bentuk amanahnya itu berbeda. Hal ini ditegaskan Allah dengan firman-Nya, bahwa manusia yang terbaik adalah bukan yang kedudukannya paling tinggi, tetapi manusia yang terbaik itu adalah yang paling tinggi ketaatannya pada aturan main yang telah ditentukan-Nya. Seorang ahli hikmah berkata, "Jangan dikira enak menjadi raja. Di dunia seorang raja diikat oleh bermacam-macam aturan dan keperluan; dan di akhirat nanti, kelak akan dibuka pula perkaranya yang besar-besar."

Seorang Muslim dituntut harus ikhlas menerima taqdir Ilahi, bila tidak maka ia berdosa. Rasulullah bersabda, "... dan kamu harus percaya kepada taqdir-Nya yang baik maupun yang buruk. 

Dalam hal kita menerima taqdir yang menurut sangkaan kita itu adalah buruk, di samping kita percayai itu sebagai ujian, maka kita pun harus berprasangka baik bahwa Allah tidak mungkin berbuat zalim atau berbuat tidak adil. [Sangat jauh Allah darisifat seperti itu!] Adapun rasa tidak puas atas ketentuan yang ditetapkan-Nya, ini adalah merupakan 'kelemahan' manusia yang sudah menjadi sifatnya sebagaimana yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya : 

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal la amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal la amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah (2):216) 

Salah satu manfaat adanya ajaran mengenai taqdir ini yaitu agar kita tidak terjebak dalam sikap angkuh (kibr) dan putus asa, Angkuh dan tidak tahu diri karena mengalami keberhasilan; dan berputus asa karena mengalami kegagalan. Bukankah dua sikap ini sangat dilaknat Allah? Bahkan Rasulullah saw. mengatakan,"Tidak akan masuk surga orang yang memiliki sikap angkuh walaepun hanya sebesar biji sawi!" Demikian pula, bila konsep taqdir ini dipahami dengan baik, maka manusia tidak akan terjebak dalam sikap apatis (nrimo) yang jelas-jelas dilarang oleh Allah. Berusahalah sekuat kemampuan yang ada untuk menjadi lebih baik lagi, sedangkan perkara hasilnya kita percayakan sepenuh-nya pada kehendak Allah (laa hawla wa laa quwwata illa billaah / tiada kuasa dan kekuatan kecuali dari Allah).

Riwayat berikut ini mungkin dapat memperkaya wawasan kita dalam memahami taqdir. Dikisahkan ketika di negeri Syam terjadi wabah, Khalifah pada saat itu, yaitu Umar bin Khatab, membatalkan rencana berkunjung kesana. Mendengar berita ini, seorang sahabatnya bertanya, "Apakah Anda lari/menghindardari taqdir Tuhan?" Umar pun menjawab, "Aku lari/menghindar dari taqdir Tuhan kepada taqdir-Nya yang lain." Demikian juga ketika Imam Ali bin Abi Thalib sedang duduk bersandar di satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain. Beberapa orang disekelilingnya bertanya seperti pertanyaan diatas. Jawaban Ali bin Abi Thalib sama intinya dengan jawaban Khalifah Umar r.a. Runtuhnya tembok, berjangkitnya penyakit, adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu adalah juga taqdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya, maka itupun taqdir.

)* Nabi dan sahabat-sahabat utama beliau, tidak pernah mempersoalkan taqdir sebagaimana dilakukan oleh para ulama / teolog. Mereka sepenuh yakin tentang taqdir Allah yang menyentuh semua makhluk termasuk manusia, tetapi sedikit pun keyakinan ini tidak menghalangi mereka berjuang, dan kalau kalah sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan mereka kepada Allah. Sikap nabi dan para sahabat tersebut lahir karena mereka memahami Al-Qur'an tidak secara sepotong-sepotong, tetapi memahaminya secara kesatuan/keseluruhan.

Terakhir, renungkanlah sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Al-Hakim berikut: 

"Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu sebelum kamu beriman kepada Qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Sedang kalau kamu mati tidak dalam keyakinan ini pasti kamu akan menjadi penghuni neraka." 

Tambahan: Prof. DR. M. Quraish Shihab seorang pakar tafsir lulusan Al-Azhar, dalam bukunya "Lentera Hati", mengatakan bahwa perintah Allah kepada manusia pada dasarnya ada 2 jenis. Yaitu perintah-Nya yang berkaitan dengan syariat agama, dan perintah-Nya yang berkaitan dengan hukum-hukum alam dan hukum-hukum kemasyarakatan yang disebut sunnatullah.

Perintah yang berkaitan dengan syariat, seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain, ditunda ganjaran dan sanksinya sampai hari kemudian. Kalaupun ganjaran atau sanksi itu ada yang dapat dirasakan di dunia, itu hanyalah sekedar panjar. Sedangkan perintah yang berkaitan dengan sunnatullah, sanksi dan ganjarannya akan dirasakan dalam kehidupan dunia ini. Siapa yang giat bekerja, belajar, akan kaya dan sukses dan itulah ganjaranNya. Siapa yang membiarkan diri terserang kuman, atau menganggur tidak bekerja, pasti menderita, dan itulah siksa-Nya. Bukankah hukum-hukum alam dan kemasyarakatan adalah ciptaan dan ketentuan Allah juga, dan penderitaan yang di alami akibat melanggarnya adalah ketetapan-Nya juga yang diberlakukan tanpa pilih kasih serta berdasarkan hukum-hukum itu? Dalam hal ini Al-Qur'an mengatakan, "Allah tidak menganiaya mereka, tetapi mereka menganiaya diri sendiri" [Ali-Imran (3):117].

Dari pengertian tersebut, kiranya tidak perlu lagi kita mempertanyakan berikut ini: "Mengapa non-Muslim maju sedangkan mereka tidak shalat dan tidak juga puasa?" Bukankah kemajuan material mereka diraih dengan bertebarannya mereka di bumi dan cucuran keringat? " Mengapa rizki tidak kunjung datang sedangkan tahajud telah melengkungkan punggung?" Bukankah ini ganjarannya ada di akhirat nanti? Dan jangan pula dilupakan, bahwa Allah selalu berkenan mengabulkan permintaan manusia, baik ia seorang ahli duniawi maupun ia seorang ahli ukhrowi:

Kepada masing-masing golongan, baik golongan (yang menghendaki kehidupan duniawi) maupun golongan (yang menghendaki kehidupan akhirat), Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (Al-Israa' (17):20) 

Akhirnya, kita harus sadar, bahwa kebanyakan non-Muslim lebih maju dari kita karena kita baru mengamalkan setengah dari perintah Allah, sementara setengah lainnya dilaksanakan dengan baik oleh mereka. Bukankah Al-Qur'an telah menegaskan, 

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengansungguh-sungguh (urusan) yang lain." [Alam-Nasyrah (94):7]

[Menurut pakar tafsir ini, sunnatullah tidaklah seperti yang dipahami kebanyakan orang yaitu hanya berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam alam seperti misalnya api itu panas, es itu dingin; tetapi hukum sebab akibat juga merupakan sunnatullah] 

Bacajuga : Perahu Taqdir

Referensi : 

 1. Syaikh Muhammad Al-Ghazali, "Al-Ghazaly Menjawab 40 Soal Islam Abad 20" 

2. DR. Nurcholish Madjid, "Pintu-pintu menuju Tuhan"

3. Prof. DR. M. Quraish Shihab, "Lentera Hati"

Santri Lampung

Posting Komentar

Silahkan anda berkomentar, namun tetap jaga kesopanan dengan tidak melakukan komentar spam.
Sαƙʅαɾ Jιɯα - ⓢⓤⓑⓐⓡⓓⓘ.ⓒⓞⓜ Developed by Jago Desain