Download Aplikasi SantriLampung.
You may want to read this post:
You may want to read this post:

Yang Membawa pada Haram adalah Haram



Mengharamkan yang Halal akan Berakibat Timbulnya Kejahatan dan Bahaya

DI ANTARA hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.

Ini semua adalah hak Ketuhanan dan suatu kepastian persembahan yang harus mereka lakukan untuk berbakti kepadaNya. Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hambaNya. Oleh karena itu dalam Ia menentukan halal dan haram dengan alasan yang ma'qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Justeru itu pula Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.

Benar! Bahwa Allah pernah juga mengharamkan hal-hal yang baik kepada orang-orang Yahudi. Tetapi semua itu merupakan hukuman kepada mereka atas kedurhakaan yang mereka perbuat dan pelanggarannya terhadap larangan Allah. Hai ini telah dijelaskan sendiri oleh Allah dalam firman Nya:

"Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan lemak-lemaknya, atau (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu kami (sengaja) hukum mereka lantaran kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya kami adalah (di pihak) yang benar." (al-An'am: 146)

Di antara bentuk kedurhakaannya itu telah dijelaskan Allah dalam surah lain, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

"Sebab kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu, maka kami haramkan atas mereka (makanan-makanan) yang baik yang tadinya telah dihalalkan untuk mereka; dan sebab gangguan mereka terhadap agama Allah dengan banyak; dan sebab mereka memakan harta riba padahal telah dilarangnya; dan sebab mereka memakan harta manusia dengan cara yang batil." (an-Nisa': 160-161)

Setelah Allah mengutus Nabi Muhammad, sebagai Nabi terakhir dengan membawa agama yang universal dan abadi, maka salah satu di antara rahmat kasih Allah kepada manusia, sesudah manusia itu matang dan dewasa berfikir, dihapusnya beban haram yang pernah diberikan Allah sebagai hukuman sementara yang bermotif mendidik itu, di mana beban tersebut cukup berat dan menegangkan leher masyarakat.

Kerasulan Nabi Muhammad ini telah disebutkan dalam Taurat, dan namanya pun sudah dikenal oleh ahli-ahli kitab, yaitu seperti yang disebutkan dalam al-Quran:

"Mereka (ahli kitab) itu mengetahui dia (nama Muhammad) tertulis di sisi mereka dalam Taurat dan Injil --dengan tugas-- untuk mengajak kepada kebajikan dan melarang daripada kemungkaran, dan menghalalkan kepada mereka yang baik-baik, dan mengharamkan atas mereka yang tidak baik, serta mencabut dari mereka beban mereka dan belenggu yang ada pada mereka." (al-A'raf: 157)

Di dalam Islam caranya Allah menutupi kesalahan, bukan dengan mengharamkan barang-barang baik yang lain, tetapi ada beberapa hal yang di antaranya ialah:

Taubat dengan ikhlas (taubatan nasuha). Taubat ini dapat menghapuskan dosa bagaikan air jernih yang dapat menghilangkan kotoran.

Dengan mengerjakan amalan-amalan yang baik, karena amalan-amalan yang baik itu dapat menghilangkan kejelekan.

Dengan bersedekah (shadaqah) karena shadaqah itu dapat menghapus dosa, bagaikan air yang dapat memadamkan api.

Dengan ditimpa oleh beberapa musibah dan percobaan, dimana musibah dan percobaan itu dapat meleburkan kesalahan-kesalahan, bagaikan daun pohon kalau sudah kering akan menjadi hancur.

Dengan demikian, maka dalan Islam dikenal, bahwa mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumnya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumnya halal. Kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya, kalau manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.

Kaidah ini diperjelas sendiri oleh al-Quran, misalnya tentang arak, Allah berfirman:

"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang hukumnya arak dan berjudi, maka jawablah: bahwa keduanya itu ada suatu dosa yang besar, di samping dia juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." (al-Baqarah: 219)

Dan begitu juga suatu jawaban yang tegas dari Allah ketika Nabi Muhammad ditanya tentang masalah halal dalam Islam. Jawabannya singkat Thayyibaat (yang baik-baik). Yakni segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya baik dan layak untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena pengaruh tradisi, maka hal itu dipandang thayyib (baik, bagus, halal). Begitulah seperti yang dikatakan Allah dalam al-Quran:

"Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa saja yang dihalalkan untuk mereka? Maka jawablah: semua yg baik adalah dihalalkan buat kamu." (al-Maidah: 4)

Dan firmanNya pula:

"Pada hari ini telah dihalalkan untuk kamu semua yang baik." (al-Maidah: 5)

Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslim yang mengetahui dengan rinci tentang apa yang disebut jelek dan bahaya yang justeru karenanya hal tersebut diharamkan Allah, kemudian kadang-kadang dia akan menyembunyikan sesuatu yang mungkin nampak pada orang lain. Sebab kadang-kadang ada juga sesuatu kejelekan yang tidak tampak pada suatu masa, tetapi di waktu lain dia akan tampak. Waktu itu setiap mu'min harus mengatakan Sami'na Wa'athanaa (kami mendengarkan dan kami mematuhi).

Tidaklah kamu mengetahui, bahwa Allah telah mengharamkan daging babi, tetapi tidak seorang Islam pun yang mengerti sebab diharamkannya daging babi itu, selain karena kotor. Tetapi kemudian dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan telah menyingkapkan, bahwa di dalam daging babi itu terdapat cacing pita dan bakteri yang membunuh.

Kalau sekiranya ilmu pengetahuan tidak membuka sesuatu yang terdapat dalam daging babi itu seperti tersebut di atas atau lebih dari itu, niscaya sampai sekarang ummat Islam tetap berkeyakinan, bahwa diharamkannya daging babi itu justeru karena najis (rijsun).

Contoh lain, misalnya Hadis Nabi yang mengatakan:

"Takutlah kamu kepada tiga pelaknat (tiga perkara yang menyebabkan seseorang mendapat laknat Allah), yaitu: buang air besar (berak) di tempat mata air, di jalan besar dan di bawah pohon (yang biasa dipakai berteduh)." (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi)

Pada abad-abad permulaan tidak seorang pun tahu selain hanya karena kotor, yang tidak dapat diterima oleh perasaan yang sehat dan kesopanan umum. Tetapi setelah ilmu pengetahuan mencapai puncak kemajuannya, maka akhirnya kita mengetahui, bahwa justeru tiga pelaknat di atas adalah memang sangat berbahaya bagi kesehatan umum. Dia merupakan pangkal berjangkitnya wabah penyakit anak-anak, seperti anchylostoma dan bilharzia.

Begitulah, setelah sinar ilmu pengetahuan itu dapat menembus dan meliputi lapangan yang sangat luas, maka kita menjadi makin jelas untuk mengetahui halal dan haram serta rahasia setiap hukum. Bagaimana tidak! Sebab dia adalah hukum yang dibuat oleh Zat yang Maha Tahu, Maha Bijaksana dan Maha Berbelas-kasih kepada hambaNya. Yaitu seperti yang difirmankan Allah dalam al-Quran:

"Allah mengetahui orang yang suka berbuat jahat dari pada orang yang berbuat baik; dan jika Allah mau, niscaya Ia akan beratkan kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Gagah dan Maha Bijaksana." (al-Baqarah: 220)

Setiap yang Halal Tidak Memerlukan yang Haram

SALAH satu kebaikan Islam dan kemudahannya yang dibawakan untuk kepentingan ummat manusia, ialah "Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan suatu jalan keluar yang lebih baik guna mengatasi kebutuhannya itu." Hal ini seperti apa yang diterangkan oleh Ibnul Qayim dalam A'lamul Muwaqqi'in 2: 111 dan Raudhatul Muhibbin halaman 10. Beliau mengatakan: Allah mengharamkan mereka untuk mengetahui nasib dengan membagi-bagikan daging pada azlam,8 tetapi di balik itu Ia berikan gantinya dengan doa istikharah. Allah mengharamkan mencari untung dengan menjalankan riba; tetapi di balik itu Ia berikan ganti dengan suatu perdagangan yang membawa untung. Allah mengharamkan berjudi, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa hadiah harta yang diperoleh dari berlomba memacu kuda, unta dan memanah. Allah juga mengharamkan sutera, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa aneka macam pakaian yang baik-baik, yang terbuat dari wool, kapuk dan cotton. Allah telah mengharamkan berbuat zina dan liwath, tetapi di balik itu Ia berikan gantinya berupa perkawinan yang halal. Allah mengharamkan minum minuman keras, tetapi dibalik itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat yang cukup berguna bagi rohani dan jasmani. Dan begitu juga Allah telah mengharamkan semua macam makanan yang tidak baik (khabaits), tetapi di balik itu Ia telah memberikan gantinya berupa makanan-makanan yang baik (thayyibat).

Begitulah, kalau kita ikuti dengan saksama seluruh hukum Islam ini, maka akan kita jumpai di situ, bahwa Allah s.w.t. tidak memberikan suatu kesempitan (baca haram) kepada hambanya, melainkan di situ juga dibuka suatu keleluasaan di segi lain. Karena Allah samasekali tidak menginginkan untuk mempersukar hambaNya dan membuat takut. Bahkan Ia berkehendak untuk memberikan kemudahan dan kebaikan serta betas-kasih kepada hambaNya. Sebagaimana difirmankan sendiri oleh Allah dalam al-Quran:

"Allah berkehendak akan menerangkan kepadamu dan memberikan petunjuk kepadamu tentang cara-cara (sunnah) yang dilakukan orang-orang sebelum kamu, dan Allah juga berkehendak untuk menerima taubatmu, dan Allah adalah Zat yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah berkehendak untuk menerima taubatmu, tetapi orang-orang yang mengikuti keinginan hawa nafsunya itu berkehendak untuk berpaling dengan palingan yang sangat. Allah (juga) berkehendak untuk memberikan keringanan kepadamu, sebab manusia itu dicipta dengan keadaan yang lemah." (an-Nisa': 26-27)

Apa Saja yang Membawa Kepada Haram adalah Haram

SALAH satu prinsip yang telah diakui oleh Islam, ialah: apabila Islam telah mengharamkan sesuatu, maka wasilah dan cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram.

Oleh karena itu, kalau Islam mengharamkan zina misalnya, maka semua pendahuluannya dan apa saja yang dapat membawa kepada perbuatan itu, adalah diharamkan juga. Misalnya, dengan menunjukkan perhiasan, berdua-duaan (free love), bercampur dengan bebas, foto-foto telanjang (cabul), kesopanan yang tidak teratur (immoral), nyanyian-nyanyian yang kegila-gilaan dan lain-lain.

Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaidah: Apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.

Kaidah ini senada dengan apa yang diakui oleh Islam; yaitu bahwa dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pribadi si pelakunya itu sendiri secara langsung, tetapi meliputi daerah yang sangat luas sekali, termasuk semua orang yang bersekutu dengan dia baik melalui harta ataupun sikap. Masing-masing mendapat dosa sesuai dengan keterlibatannya itu. Misalnya tentang arak, Rasulullah s.a.w. melaknat kepada yang meminumnya, yang membuat (pemeras), yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya dan seterusnya. Nanti insya Allah akan kami sebutkan.

Begitu juga dalam soal riba, akan dilaknat orang yang memakannya, yang memberikannya, penulisnya dan saksi-saksinya.

Begitulah, maka semua yang dapat membantu kepada perbuatan haram, hukumnya adalah haram juga. Dan semua orang yang membantu kepada orang yang berbuat haram, maka dia akan terlibat dalam dosanya juga.

Bersiasat Terhadap Hal yang Haram, Hukumnya adalah Haram

SEBAGAIMANA Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada haram dengan cara-cara yang nampak, maka begitu juga Islam mengharamkan semua siasat (kebijakan) untuk berbuat haram dengan cara-cara yang tidak begitu jelas dan siasat syaitan (yakni yang tidak nampak).

Rasulullah pernah mencela orang-orang Yahudi yang membuat suatu kebijakan untuk menghalalkan perbuatan yang dilarang (haram).

Maka sabda Rasulullah s.a.w.:

"Jangan kamu berbuat seperti perbuatan Yahudi, dan jangan kamu menganggap halal terhadap larangan-larangan Allah walaupun dengan siasat yang paling kecil."9

Salah satu contoh, misalnya, orang-orang Yahudi dilarang berburu pada hari Sabtu, kemudian mereka bersiasat untuk melanggar larangan ini dengan menggali, sebuah parit pada hari Jum'at supaya pada hari Sabtunya ikan-ikan bisa masuk ke dalam parit tersebut, dan akan diambilnya nanti pada hari Ahad.

Cara seperti ini dipandang halal oleh orang-orang yang memang bersiasat untuk melanggar larangan itu, tetapi oleh ahli-ahli fiqih dipandangnya suatu perbuatan haram, karena motifnya justeru untuk berburu baik dengan jalan bersiasat maupun cara langsung.

Termasuk bersiasat (helah), yaitu menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain, dan merubah bentuk. padahal intinya itu juga. Sebab suatu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa sedikitpun tidak, berarti untuk merubah hukum hanya cukup dengan merubah nama, sedang bendanya itu-itu juga; atau dengan merubah bentuk, padahal hakikat bendanya itu-itu juga.

Oleh karena itu pula, siapapun yang merubah bentuk dengan niat sekedar siasat supaya dapat makan riba, atau membuat nama baru dengan niat supaya dapat minum arak, maka dosa riba dan arak tidak dapat hilang.

Untuk itulah, maka dalam beberapa Hadis Nabi disebutkan:

"Sungguh akan ada satu golongan dari ummatku yang menganggap halal minum arak dengan memberikan nama lain."10 (Riwayat Ahmad)

"Akan datang suatu masa di mana manusia menganggap halal riba dengan nama jual-beli."11

Adalah salah satu keganjilan di zaman kita sekarang ini banyak orang menamakan tarian porno dengan nama seni tari, arak dinamakan minuman rohani dan riba dinamakan keuntungan dan sebagainya.


8. Tiga batang kayu untuk dipakai mengetahui nasib, dengan jalan mengundinya. Tiga batang kayu itu masing-masing diberi tanda (1) tertulis "aku diperintah Tuhan", (2) tertulis "aku dilarang Tuhan", (3) kosong, (Lihat Tafsir al-Maraghi ayat 3 al-Maidah).

9. Ighatsatul Lahfan 1: 348.

10. Tersebut dalam Ighatsatul Lahfan juz 1: 348. Pengarang kitab ini berkata, bahwa Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Abdillah bin Bath-thah dengan sanad yang baik. Dan yang sama disahkan juga oleh Tarmizi.

11. Hadis ini dipetik dari kitab Ighatsatul Lahfan halaman 352 juz 1 oleh Ibnul Qayim.

Alumni Universitas Islam Negeri Lampung.
You may want to read this post:
You may want to read this post: