Diskursus mengenai surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim) merupakan diskursus yang masih banyak diperbincangan dalam bidang teknologi kedokteran. Salah satu hal yang menarik adalah karena praktek sewa rahim banyak menggugat kemapanan struktur sosial di masyarakat antara lain dengan hadirnya bayi-bayi mungil hasil persenyawaan suami istri yang dititipkan pada seorang perempuan serta tidak terikat hubungan pernikahan dengan suami dari istri tadi. Praktek sewa rahim ini mempunyai indikasi pelanggaran terhadap hak-hak anak secara berantai, mulai dari hak hidup sampai dengan hak waris dan nasab. Banyak negara yang melegalkan akan tetapi banyak juga yang melarang. Demikian juga para ulama, ada yang menghalalkan dengan syarat tertentu dan ada yang mengharamkan tanpa syarat apapun.
Perkembangan teknologi di bidang kedokteran, telah menemukan metode baru yaitu inseminasi buatan yang dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program bayi tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri yang tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan pembuahan in virto fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul ide surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.
Ditinjau dari aspek teknologi dan ekonomi proses surrogate mother ini cukup menjanjikan terhadap penanggulangan beberapa kasus infertilitas, tetapi ternyata proses ini terkendala oleh aturan perundang-undangan yang berlaku serta pertimbangan etika, norma-norma yang berlaku di Indonesia. Begitu juga dengan perjanjian yang dibuat, apakah bisa berlaku berdasarkan hukum perikatan nasional, terlebih-lebih objek yang diperjanjikan sangatlah tidak lazim, yaitu rahim, baik sebagai benda maupun difungsikan sebagai jasa.[1]
Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti/sewa rahim tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
a) hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.[2]
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.[3]
Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim [4]
1. Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan yang terus, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
2. Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu.
3. Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
4. Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovarium dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause).
5. Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.
Latar Belakang Terjadinya Sewa Rahim
Sewa rahim biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, di antaranya adalah :
1. Seorang perempuan atau seorang istri tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara normal karena memiliki penyakit atau kecacatan yang dapat menghalanginya dari mengandung dan melahirkan anak.
2. Seorang perempuan tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi pembedahan rahim.
3. Perempuan tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya.
4. Perempuan yang ingin memiliki anak tetapi masa haidnya telah putus haid (menopause).
5. Perempuan yang menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan ekonominya.
Sewa Rahim dalam Tinjauan Hukum Perdata
Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan hukum perjanjian atau perikatan. Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain. Dengan kata lain masing-masing orang yang mengadakan perjanjian mempunyai keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Kemudian pada pasal 1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan sebagai sesuatu yang dilahirkan karena perjanjian maupun undang-undang. Karena itu, berdasarkan kedua pasal tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan merupakan undang-undang bagi mereka dan termasuk kepada unsur perjanjian.
Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka persyaratan dari suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak. Dalam pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian meliputi bebarapa hal antara lain : [5]
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Menurut Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap tidak sah jika tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain persyaratan tentang adanya sebab yang halal. Surrogate mother dinyatakan tidak sah dengan alasan tersebut dengan dalil sebagai berikut : [6]
1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif):
a. UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan:
1) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
2) Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3) Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
b. Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
1) Pasal 4 : Pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada suatu indikasi medik.
2) Pasal 10 :
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin penyelenggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan.
c. SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS, terdapat 10 pedoman:
1) Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan; (pedoman no.1)
2) Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka pelayanan merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan; (pedoman no.2)
3) Dilarang melakukan surrogacy dalam bentuk apapun; (pedoman no.4)
2. Bertentangan dengan kesusilaan:
a. Tidak sesuai dengan norma moral dan adat istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di lingkungannya.
b. Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut salah satu agama (Islam) karena terdapat unsur pokok yang mengharamkan praktik surrogate mother, yaitu unsur zina.
3. Bertentangan dengan ketertiban umum:
a. Akan menjadi pergunjingan di dalam masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan dikucilkan dari pergaulan.
b. Terlebih lagi bila status dari wanita surrogate mother adalah gadis atau janda.
4. Point 1,2, dan 3 diperkuat dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga pasal ini menyatakan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
5. Bertentangan juga terhadap pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di mana rahim itu bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (hukum sewa-menyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio mengatakan anak hasil bayi tabung merupakan anak sah. Namun jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
Sewa Rahim ditinjau dari Hak Asasi Anak
Anak adalah makhluk Tuhan yang memiliki hak sebagaimana hak yang dimiliki orang dewasa. Hak anak setara dengan hak orang dewasa. Akan tetapi dalam kasus penyewaan rahim anak diperlakukan sebagaimana barang atau benda yang dapat berpindah dari ibu yang satu ke ibu yang lain. Hak anak untuk mendapatkan kasih sayang dari ibu yang melahirkan hilang karena tergerus oleh perjanjian orang dewasa, yang satu bermotif ekonomi dan yang lainya bermaksud memenuhi segala macam keinginannya yang tidak mampu ia dapatkan. Akibat dari tarik menarik dua kehendak ini, anak dijadikan sebagai obyek “perdagangan”.
Praktek sewa rahim atau ibu pengganti tidak disadari sudah menghancurkan masa depan kehidupan manusia. Bagaimana mungkin seorang ibu tega memberikan bayi yang dikandung dan dilahirkannya kepada orang lain, padahal ia sudah mempertaruhkan nyawanya sendiri. Dari beberapa indikasi terjadinya praktek sewa rahim latar belakang ekonomilah yang paling kuat melandasi praktek sewa rahim tersebut, sehingga untuk mengadakan perjanjian tidak mempertimbangkan akibat-akibat yang mungkin akan dialaminya, baik bagi dirinya sediri maupun bagi bayi yang akan dilahirkannya kelak.
Dalam kasus sewa rahim terdapat sederet pelanggaran terhadap hak asasi anak. Hak tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa pelanggaran :
1. Penelantaran :
a. Anak kehilangan kasih sayang, anak yang dilahirkan oleh “si ibu sewa” tidak mendapatkan kasih sayang dari ibu kandungnya sendiri.
b. Anak tidak mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
c. Anak disuramkan asal usulnya.
d. Anak dipisahkan dari ibu kandungnya.
2. Perlakuan salah :
a. Anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum antara lain tidak dilahirkan di luar pernikahan sah, baik menurut agama maupun negara.
b. Anak dieksploitasi secara ekonomi.
c. Anak membawa beban psikologi yang berat.
Dalam prakteknya, sewa rahim atau ibu pengganti membuka peluang lebar adanya anak yang dilahirkan di luar nikah. Seorang gadis atau janda yang bersedia untuk melahirkan tanpa nikah dan hanya disewa rahimnya saja, dapat membawa dampak buruk serta penderitaan terhadap masa depan anak, di antaranya adalah :
1. Anak terlahir dengan status “anak di luar nikah”.
2. Anak kehilangan hak waris orang tua kandungnya.
3. Anak mendapat stigma buruk di masyarakat.
4. Anak tersebut dapat disangkal oleh orang tua kandungnya maupun oleh orang tua titipan.
Mengenai point 4 di atas tadi, Penulis berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya anak yang dihasilkan dari proses sewa rahim, sangat memungkinkan adanya penolakan atau sangkalan dari dua pihak sekaligus. Pertama dari orang tua kandung, kedua dari orang tua biologis (yang punya benih). Di bawah ini akan Penulis kemukakan beberapa kemungkinan terjadinya penolakan anak :
1. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut tidak terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat saja ditolak oleh ayah biologisnya (penitip sperma) karena biaya yang dijanjikan ternyata tidak ada, apalagi jika anak tersebut terlahir dalam keadaan cacat, dengan dalil bahwa anak tersebut bukan anaknya karena tidak terlahir dalam ikatan perkawinan yang sah. Pasal 42 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian pasal 250 KUH Perdata menyatakan bahwa anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya.
2. Jika anak terlahir dari ibu kandung (yang disewa rahimnya) dan status ibu tersebut terikat oleh suatu perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya itu dapat ditolak oleh suami dari ibu tersebut. Dengan dalil pasal 44 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang berbunyi :
1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan.
2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwasanya begitu menderitanya anak yang dilahirkan melalui praktek sewa rahim atau ibu pengganti. Anak dapat kehilangan statusnya sesaat setelah dilahirkan sekaligus kehilangan hak-haknya sebagai manusia.
Sewa Rahim Menurut Pandangan Hukum Islam
Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Dalam masyarakat Islam sehubungan dengan permasalahan ini, ada dua kelompok yang memiliki perbedaan pendapat yaitu kelompok yang mendukung atau membolehkan serta kelompok yang menolak atau mengharamkan. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
a. Pendapat yang menolak atau mengharamkan yaitu :
1. Ibrahim Hosein, mantan Ketua Fatwa MUI mengatakan bahwa inseminasi buatan dan bayi tabung dengan sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri, proses kehamilan tidak dalam rahim wanita atau sel telur dari donor, atau benihnya dari pasangan suami isteri tetapi embrio itu diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain, maka pelaksanaan inseminasi buatan dan bayi tabung demikian itu tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam.
2. Asy-Syaikh ‘Ali At-Thantawi menyatakan bahwa bayi tabung yang menggunakan wanita pengganti itu jelas tidak dibenarkan, karena menurut beliau rahim wanita bukanlah panci dapur yang isinya bisa dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke yang lainnya, karena rahim wanita yang mengandung memiliki andil dalam proses pembentukan dan penumbuhan janin yang mengkonsumsi zat makanan dari darah ibunya.
b. Pendapat yang membolehkan penggunaan sewa rahim, yakni:
1. Ali Akbar menyatakan bahwa : menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami gangguan, sedangkan menyusukan anak wanita lain dibolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya.
2. H. Salim Dimyati berpendapat : bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma dari suami istri yang sah, lalu embrionya dititipkan kepada ibu yang lain (ibu pengganti), maka apa yang dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak mewarisi dan diwarisi, sebab anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh disamakan dengan anak kandung. Pendapat di atas menyamakan status anak yang dilahirkan melalui sewa rahim dengan anak angkat, yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi.
Diskursus tentang Penentuan Orang yang Paling Berhak Atas Anak
Selain perdebatan di masyarakat umum, ada pula perdebatan di kalangan ulama yang
yang mempersoalkan siapa sesungguhnya ibu yang paling berhak atas pengakuan terhadap si anak. Mengenai masalah ini, menarik kiranya Penulis tampilkan tulisannya Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, mengenai penentuan nasab anak terhadap ibu yang sebenarnya : [7]
Pendapat pertama :
Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr. Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas Syariah University Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum penyusuan. Pendapat ini dibina di atas asas bahwa perseyawaan benih di antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka. Manakala ibu tumpang tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan memberi minum susunya, lebih-lebih lagi ibu tumpang dimana anak tersebut mendapat makanan dari darahnya sejak awal pembentukan hingga sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu tumpang tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan.
Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh mani dan benih ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, kerena ibu tumpang hanya tempat bergantung dan numpang membesar. Hujah ini juga merupakan hujah kebanyakan doktor.
Pendapat kedua :
Menurut sebahagian besar para ulama’ dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri, Qadi Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah seseorang yang mengandungkan bayi dan melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu yang melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan kepada suaminya, kerana الولد للفراش (anak adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara’ yang diambil dari hadis Rasulullah saw.
Diskursus Mengenai Nasab dari Jalur Bapak
Kemudian diskursus yang lainnya mengenai Nasab anak dari jalur bapak, bapak yang mana yang berhak dinasabkan oleh anak tersebut. Di bawah ini kembali Penulis tampilkan tulisannya Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam mengenai masalah tersebut :[8]
Dalam persoalan ini, para ulama terbagi kepada dua pendapat besar yaitu :
Pendapat pertama :
Golongan ini berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada suami ibu tumpang pemilik rahim yang melahirkan anak tersebut, sekalipun beliau tidak memiliki hubungan apa-apa dilihat dari sudut genetik. Mereka berhujah bersandarkan hadis Rasulullah saw :
عن عا ئشة ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : الولد للفرا ش وللعاهر الحجر
Artinya : “Anak dinasabkan kepada bapaknya, dan bagi pezina terhalang.”[9]
Hadis ini merupakan dalil nas yang digunakan untuk menentukan hukuman seorang hakim dan merupakan kaedah umum shara’ dalam menetapkan haramnya pernikahan dan cara untuk menentukan nasab bagi seseorang anak. Oleh karena itu, apabila ibu tumpang mempunyai suami kemudian melahirkan anak dari rahimnya, ini berarti anak tersebut dinasabkan kepada suami dari isteri yang melahirkan anak tersebut, sekalipun tidak memiliki hubungan genetik.
Pendapat kedua :
Termasuk dalam golongan ini ialah Al-Mujamma’ Al-Fiqhi Al-Islami yang berpusat di Makkatul Mukarramah, dan lain-lain antaranya Sheikh Mustafa Az-Zarqa, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Muhammad Al-hafiz Hilmi, dan Dr. Hashim Jamil. Golongan ini berpendapat bahwa anak yang dilahirkan dinasabkan kepada suami wanita pemilik benih yang disewakan tadi, dan tidak dinasabkan kepada suami pemilik rahim. Ini adalah kerana penyewaan rahim dilakukan di atas dasar persenyawaan benih di antara kedua suami isteri, kemudian benih yang telah disenyawa tadi dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Oleh karena itu, janin tersebut terbina dari benih keduanya yang memiliki ikatan perkawinan yang sah. Justru, anak itu dinasabkan kepada mereka berdua selagi kedudukan mereka dalam keadaan ini. Walaupun penyewaan rahim ini haram dari segi shara’, tapi tidak menjadi penghalang bagi dinasabkannya anak itu kepada mereka, karena pengharaman ini adalah disebabkan mereka menggunakan rahim wanita lain yang tidak benar secara shar’i. Hal ini dikarenakan dari segi saintifik, janin yang telah disenyawakan tidak terkesan dari rahim selain tumpang dalam memberikan makanan untuk tumbuh menjadi besar, sedangkan sifat-sifat genetik berasal dari pemilik benih asal ovum dan sperma tadi. Hal tersebut diumpamakan seperti kedua ibu bapak yang memberi makanan anaknya dengan makanan yang haram sehingga dewasa, kedua-dua ibu bapaknya berdosa, tetapi hal ini tidak sampai memutuskan hubungan antara mereka.
Pendapat ketiga :
Golongan ini berpendapat bahwa pemilik benih tidak memiliki hak apapun, dan benihnya dianggap sia-sia. Mereka berhujah dengan kisah anak Zam’ah karena Rasulullah saw telah meletakkan bahwa anak itu adalah anak Zam’ah sekalipun jelas bahawa dia bukan anak Zam’ah dari segi zahirnya berdasarkan الولد للفراش . Dalam hal ini, hakikat penentuan hukum berdasarkan kepada zahir karena hakikat sebenarnya hanya Allah–lah yang tahu. Pendapat ini mengatakan bahwa tidak ada nilai bagi pemilik benih ataupun mani dalam beberapa keadaan karena penentuannya mestilah berdasarkan kepada penentuan shar’i yang sah. Hujah ini dijawab bahwa keadaan penyewaan rahim berbeda dengan kisah anak Zam’ah karena dalam kisah anak Zam’ah tersebut, janin itu terhasil dari percampuran air mani antara dua orang lelaki dan perempuan tanpa ikatan yang sah, oleh sebab itu anak itu tidak dinasabkan kepada lelaki itu (‘Atabah). Sedangkan dalam penyewaan rahim, persenyawaan benih berlaku antara dua orang pasangan suami istri yang diikat oleh ikatan yang sah, maka anak itu dinasabkan kepada mereka.
Syarat-syarat terjadinya Penyewaan Rahim
Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bahwa syarat-syarat penyewaan rahim jika hukum ini sampai diberlakukan dan demi untuk mengurangi kemudaratan serta meringankan antara lain sebagai berikut : [10]
1. Ibu tumpang itu mestilah wanita yang bersuami, bukan anak gadis atau janda.
2. Wanita itu juga wajib mendapatkan izin suaminya, kerana kehamilan akan menghalanginya memberikan beberapa hak suaminya selama waktu kehamilan dan nifas seperti hubungan seks dan sebagainya.
3. Wajib bagi ibu tumpang beriddah dari suaminya, untuk menghilangkan keragu-raguan masih terdapatnya benih yang disenyawakan pada rahimnya yang akan menyebabkan berlaku percampuran nasab.
4. Nafkah ibu tumpang, biaya perawatan dan pemeliharaannya sewaktu masa kehamilan dan nifas adalah tanggung jawab suami pemilik benih, atau wali sesudahnya, karena janin tersebut tumbuh akibat dari darahnya. Justru, wajib bagi bapak tersebut membayar kadar kehilangan darah itu.
5. Hukum penyusuan semuanya mengikuti pada ibu tumpang dengan menggunakan ‘qias aula’, karena ibu tumpang lebih berat tanggungannya dari pada ibu susuan, kecuali suami ibu tumpang tersebut tidak dikira sebagai bapak susuan kepada bayi itu. Ini karena bapak susuan dikira sebagai bapak bagi anak susuannya karena susu itu dapat dihasilkan apabila ibu susuan itu melahirkan anak hasil hubungan mereka suami isteri, berbeda dengan suami ibu tumpang yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan bayi yang dilahirkan.
6. Ibu tumpang berhak untuk menyusukan bayi itu jika ingin berbuat demikian karena membiarkan susu pada badannya akan memudaratkan fisik, sebagaimana perasaannya juga terkesan apabila anak itu diambil dari padanya karena Allah menjadikan penyusuan itu berkaitan dengan proses kelahiran.
7. Akhirnya, Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan pendapatnya bahwa wajar bagi ibu tumpang ini mendapat keistimewaan yang lebih dibandingkan ibu susuan, seumpama nafkah dari anak ini diberikan kepada ibu yang melahirkannya jika berkemampuan dan ibunya berhajat kepada nafkah kelak.
Posisi Sewa Rahim atau Ibu Pengganti di Indonesia
Walaupun teknologi kedokteran di bidang infertilisasi semakin canggih, akan tetapi untuk dapat diwujudkan di Indonesia masih sangat beresiko, baik dari aspek perundang-undangannya, aspek sosial budayanya, kultur agamanya, maupun kesiapan mentalnya. Dalam Peraturan Mentri Kesehatan No. 73 tahun 1999 pasal 10 butir 1 dan 2, memang teknologi reproduksi mempunyai peluang untuk terlaksananya praktek sewa rahim walaupun hanya ditujukan kepada pasangan suami istri yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serya berdasarkan pada suatu indikasi medik, namun Penulis berpendapat bahwa Indonesia tidak cukup siap untuk menerapkan teknologi kedokteran tersebut. Hal ini bukan saja kultur budaya bangsa Indonesia yang masih menganggap “tabu” akan tetapi terutama disokong oleh perangkat aturan yang tidak siap, jauh dari tertib. Menerima praktek sewa rahim ini berarti merubah sederet pasal-pasal yang terdapat dalam perundang-undangan yang berlaku. Untuk membenahi hak-hak anak di luar nikah pun selama 35 tahun tidak ada satu pun draf yang berhasil digolkan sebagai undang-undang, padahal masalah tersebut merupakan amanat dari undang-undang, lihat pasal 43 butir 2 UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, apalagi ditambah dengan masalah baru yang melibatkan diskursus panjang tentang nasab, waris, pelanggaran hak asasi manusia, dll. Setidaknya ada beberapa pasal yang dapat dijadikan rujukan sebagai dasar penolakan adanya sewa rahim tersebut antara lain adalah :
UU RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan 127 ayat (1). [11]
Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999, pasal 4 dan 10.
SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS.
Kesusilaan dan Ketertiban Umum.
Pasal 1339 KUH Perdata.
MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa rahim ini (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah agama).
b. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
c. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Sedangkan dalam buku masailul fiqhiyah karangan Mahyudin dapat disimpulkan bahwa inseminasi buatan atau bayi tabung dan sejenisnya tergolong zina dan menyulitkan penegakkan hukum Islam dalam masalah yang lain dan berakibat :
Mengacaukan hukum Islam untuk menentukan wali anak perempuan dari hasil inseminasi dan bayi tabung bila ia dikawinkan.
Menyulitkan hukum Islam untuk menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan dsb.[12]
Pendapat Para Pakar Kedokteran Indonesia [13]
Pakar hukum kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Prof. Agnes Widanti menilai perlu ada regulasi yang khusus mengatur tentang maraknya praktek sewa rahim di Indonesia. Menurutnya selama ini, sewa rahim belum diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Regulasi di Indonesia hanya mengatur terkait bayi tabung, yang sebenarnya prosesnya sama dengan sewa rahim, tetapi kalau bayi tabung benih itu ditanam pada si istri, bukan orang lain. Agnes mengatakan bahwa praktik sewa rahim sudah banyak terjadi di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat yang akhirnya melegalkan praktik tersebut dan mengaturnya dalam undang-undang. Di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada praktik semacam itu, namun tidak banyak yang berani bersikap terbuka karena belum diatur secara jelas dalam perundang-undangan.
Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah itu juga mengungkapkan selama ini praktik sewa rahim di Indonesia tidak pernah menimbulkan permasalahan sehingga tidak pernah mencuat. Padahal, permasalahan akan muncul ketika si ibu yang menyewakan rahim tidak mau menyerahkan bayi yang dikandungnya, sebagaimana yang pernah terjadi di AS sekitar tahun 1968 ketika ada seorang ibu yang menyewakan rahim enggan mengembalikan bayi yang dikandungnya, sehingga terjadi polemik. Keengganan menyerahkan bayi yang dikandungnya meski bukan anak kandungnya sendiri itu, bisa muncul karena naluri alamiah seorang ibu. Untuk itu sewa rahim perlu ada regulasi.
Menurut dr. Sofwan Dahlan (Pada seminar yang diselenggarakan Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata) praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan, mengingat prosesnya secara garis besar sama dengan bayi tabung, hanya rahim inang yang digunakan berbeda. Proses bayi tabung secara umum adalah merangsang indung telur matang untuk dipertemukan sel sperma yang terseleksi, kemudian dipantau hingga terjadi pembuahan, dan siap diimplantasikan dalam rahim.
Sementara itu, saintis dan juga pemerhati masalah sosial, Prof. Liek Wilardjo dalam seminar yang sama menyoroti persoalan moral yang melingkupi praktik sewa rahim tersebut, apalagi terkait persoalan yang akan muncul lebih jauh misalnya identitas anak tersebut kelak. Persoalan moral lebih bersifat relatif, karena pertimbangan yang diambil setiap orang pasti berbeda, termasuk dalam kasus sewa rahim. Namun, tetap ada dampak yang harus dipikirkan.
Posisi Sewa Rahim di Dunia
Awalnya surrogate mother terjadi karena pihak istri tidak bisa mengandung karena sesuatu hal yang terjadi pada rahimnya sehingga peran si istri dialihkan pada wanita lain untuk menggantikan fungsinya sebagai seorang ibu dalam mengandung dan melahirkan, baik dengan imbalan materi ataupun sukarela (walaupun yang suka rela sangat jarang terjadi), tetapi perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran makna dan substansi, dari substansi awal sebagai alternatif kelainan medis (karena cacat bawaan atau karena penyakit) yang ada ke arah sosial dan eksploitasi nilai sebuah rahim, yang mana pihak penyewa bukan lagi karena alasan medis, tetapi sudah beralih ke alasan kosmetik dan estetika (tidak mau tubuhnya cacat dan jelek karena melahirkan serta tidak mau mengandung dan melahirkan), sementara bagi pihak yang disewa akan menjadikannya sebagai suatu ladang bisnis baru dengan menyewakan rahimnya sebagai alat mencari nafkah (terutama pada masyarakat yang ekonominya rendah) seperti India, Bangladesh dan China. Negara tersebut difasilitasi oleh pemerintah setempat dengan membuatkan sebuah pusat untuk model sewa rahim termasuk dengan pengurusan visa khusus dan visa medis, sebagaimana dikatakan oleh seorang sosiolog dari Australia, Catherine Waldby pada konferensi Asia-Pasifik Science, Teknologi and Society Network Conference pada bulan Desember 2009 di Brisbane-Australia.[14]
Di beberapa negara yang melegalkan praktek sewa rahim, alat reproduksi manusia menjadi komoditi untuk mencari keuntungan yang menggiurkan, bahkan sewa rahim sudah dijadikan sebagai suatu pekerjaan atau mata pencaharian. Misalnya di India sebagaimana ditulis oleh Desriza Ratman dalam bukunya Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum bahwa untuk sewa rahim, India menargetkan satu orang bayi dengan harga US $ 5000 sampai dengan US $ 6000 atau setara dengan Rp.50.000.000,- sampai dengan Rp. 60.000.000,- sedangkan pasangan asing dari Barat dikenakan tarif US $ 15.000 sampai dengan US $ 20.000 atau setara dengan Rp. 150.000.000,- sampai dengan Rp. 200.000.000,-. Lain lagi sewa rahim di Amerika Serikat, rahim seorang wanita di sana dihargai dengan US $ 100.000 atau setara dengan 1 miliyar rupiah.[15]
The Internasional Islamic Center for Population Studies and research, Cairo-Mesir, November 2000 menyatakan :[16]
a. In Vitro Fertilization diperbolehkan kecuali menggunakan sperma, ovum atau embrio dari donor.
b. Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk alasan medik, untuk menghindari penyakit keturunan.
c. Penelitian-penelitian untuk pematangan folikel, pematangan oosit invirto diperbolehkan.
d. Implantasi embrio pada suami yang sudah meninggal belum mempunyai keputusan tetap.
e. IVF pada wanita menapause dilarang karena mempunyai risiko yang tinggi terhadap kesehatan ibu dan bayinya.
f. Tansplantasi uterus masih dalam pertimbangan; diperbolehkan untuk mengadakan penelitian pada binatang.
g. Penggunaan sel tunas (stem cell) untuk tujuan pengobatan (Therapeutic cloning) masih dalam perdebatan, diminta untuk dapat disetujui.
h. Reproduktive cloning atau duplikasi manusia tidak diperbolehkan.
Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Mujamma’ Fiqih Islamic : Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali karena dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat:
a. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
b. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
c. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sperma suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
d. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
e. Sperma dari indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
KESIMPULAN
Surrogate mother yang dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ibu pengganti atau sewa rahim, merupakan praktek penyewaan rahim seorang perempuan yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan pihak lain (suami istri) dengan tujuan supaya dapat hamil dan melahirkan bayi yang sebelumnya dilakukan persenyawaan sperma dan ovum antara suami istri, lalu hasil persenyawaan tersebut dibenamkan ke dalam rahim perempuan tadi. Praktek sewa rahim ini banyak diperdebatkan kelegalannya karena akibat yang ditimbulkan disinyalir dapat membawa dampak negatif dalam masyarakat terutama nasib dan nasab anak. Indikasi pelanggaran hak anak merupakan isu penting dalam perdebatan sewa rahim ini. Hak anak yang seharusnya diberikan menjadi tersingkirkan dengan ambisi-ambisi membabi buta orang dewasa. Anak disamarkan nasabnya, anak dihilangkan hak warisnya serta anak disuramkan asal-usulnya.
Indonesia belum ada pengaturan khusus tentang surrogate mother ini, akan tetapi perundangan yang berlaku dapat dimaknai sebagai jalan yang menolak adanya surrogate mother sekaligus memberikan kelonggaran diberlakunya surrogate mother. Hal tersebut dapat dilihat dari UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 127 dan Permenkes No. 73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan yang membolehkan pembuahan di luar rahim walaupun terbatas untuk suami istri yang terikat perkawinan sah (lihat pasal 4). Tentu Pendapat ini adalah pendapat Penulis yang beranggapan bahwa jika pembuahan di luar rahim boleh maka pembuahan yang dititipkan kepada orang lain pun dapat dibolehkan dengan alasan yang sama. Maksudnya punya alasan hukum yang sama, yakni sama-sama tidak dilahirkan oleh si empunya zygote, sama-sama dititipkan kepada seorang istri yang juga sah menurut hukum (istri kedua dan seterusnya), serta kalau ditinjau dari dampak sama-sama berpengaruh terhadap nasab dan nasib anak.
Posisi sewa rahim di dunia masih ramai diperdebatkan, banyak negara di dunia yang tidak setuju atau menolak praktek sewa rahim ini, akan tetapi banyak juga negara yang membolehkan sewa rahim ini misalnya India, Bangladesh, China ,Amerika, dll. Sementara itu sewa rahim bagi kalangan Islam masih dianggap oleh sebagian besar ulama sebagai tindakan yang dapat mengacaukan hukum Islam dalam menentukan wali anak perempuan bila ia dikawinkan dan menyulitkan hukum Islam dalam menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan. Para Ulama sepakat tentang pengharaman praktek sewa rahim dalam keadaan berikut : menggunakan rahim wanita lain selain isteri, adanya tindakan percampuan zygote antara suami dan wanita lain, adanya tindakan percampuan zygote dengan lelaki yang bukan suaminya (orang lain), dan menanamkan zygote sesaat setelah suami istri tersebut meninggal.
· [1] Desriza Ratman. Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum (Jakarta, PT.Gramedia, h. viii).
· [2] Shanti Rachmadsyah. Surrogate Mother (Ibu-Pengganti), http://www.hukumonline.com.
· [3] http://inerosiani.blogspot.com/2011/02/bayi-tabung-di-indonesia.html.
· [4] Radin Seri Nabaha. Penyewaan Rahim dalam Pandangan Islam –Terjemahan dari Al-Faqiroh Illallâh Shari’ah Islamiyah (Cairo : American Open University) 2004, h. 4-5.
· [5] Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
· [6] Desriza Ratman, h. 110-112.
· [7] Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, h. 18-19, dengan sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
· [8] Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi. Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, h. 23-26, dengan sedikit penyesuaian bahasa oleh Penulis.
· [9]Hadis Riwayat Al- Bukhari dan Muslim.
· [10] Al- Qaradhawi. Fatawa Al-Muasarah (Kaherah : Dar Al-Wahbah), Juz 1, hal 574-575.
· [11] Rujuk kembali ke halaman 4 bunyi pasal-pasal pada point 1-5.
· [12] Mahyudin. Masailul Fiqhiyah (Jakarta : Penerbit Kalam Mulia), 1998, Cet. 3, h. 4.
· [13] Baca, http://erabaru.net/top-news/37-news2/14277-maraknya-sewa-rahim-butuh-aturan.
· [14] Desriza Ratman, h. 38.
· [15] Baca, Desriza Ratman, h. 38-39.
· [16] Desriza Ratman, h. 84.