Download Aplikasi SantriLampung.

You may want to read this post:

Urutan Wali Nikah



Salah satu elemen yang penting dalam akad pernikahan adalah wali yang merupakan satu rukun akad nikah. Dalam akad nikah, seorang wanita harus diwakili oleh seorang wali yang menikahkannya dengan calon suaminya. Pernikahan tanpa wali tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw :


لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ


“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, dan setiap pernikahan yang bukan seperti ketentuan demikian maka pernikahan tersebut batal”. (H.R. Imam Ibnu Hibban)


dalam kesempatan ini, kami pihak lbm.mudimesra.com akan menyajikan penjelasan tentang urutan tertib wali pernikahan. 

Dalam masalah wali nikah, disebutkan dalam kitab fiqh bahwa sebab perwalian ada empat yaitu ubuwah, ‘ushubah yang selain ubuwah, wila` dan sulthanah. (1)


Yang berhak menjadi wali karena sifat ubuwah adalah ayah dan kakek yang merupakan wali mujbir bagi wanita bikr (wanita yang belum pernah di jimak dalam pernikahan yang sah). Keduanya memiliki hak untuk menikahkan anak gadisnya yang masih bikr tanpa meminta izin terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang telah di tentukan.(2)


Ketika keduanya tidak ada (tidak ada secara hissi atau secara syar`i) maka hak perwalian berpindah kepada wali dari ‘ushubah yang lain. Wali dari ‘ushubah yang bukan ubuwah, urutan perwalian mereka sebagai berikut: (3)


1. Saudara laki-laki seibu sebapak

2. Saudara laki-laki se bapak

3. Anak saudara laki-laki se ibu sebapak 

4. Anak saudara laki-laki sebapak.

5. Paman seibu sebapak

6. Paman sebapak

7. Anak paman se ibu sebapak 

8. Anak paman sebapak.


Perwalian dengan kedua sifat ini (ubuwah dan ‘ushubah yang bukan ubuwah) disebut dengan wali nasab. 

Selanjutnya apabila wali nasab tidak ada (baik tidak ada pada hissi  maupun tidak ada dalam pandangan syara`) maka berpindah kepada wali dengan sebab wila`. Wila` merupakan hak yang didapat akibat memerdekakan budak. Ketika wali nasab tidak ada, bagi mantan budak yang menjadi wali dalam pernikahannya adalah orang yang memerdekakannya (maula mu`tiq). Selanjutnya bila maula mu`tiq juga tidak ada, maka berpindah kepada `ashabah maula mu`tiq menurut urutan hak kewarisannya masing-masing.(4)


Selanjutnya ketika wali nasab dan wali wila` tidak ada, maka hak perwalian berpindah kepada sulthan atau penggantinya (dalam hal ini di negara kita adalah KUA) di wilayah tempat wanita tersebut berada. (5)

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw :


فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ


“Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.” (H.R. Imam Abu Dawud)


Perwalian sulthan/hakim hanya terjadi dalam kondisi sebagai berikut: (6)

Tidak ada wali sama sekali.

Wali berada di luar daerah sejauh 2 marhalah (± 86 km) dan pada tempat tersebut tidak ada wakil dari wali aqrab.

Wali berada dalam jarak di bawah 2 marhalah tetapi tidak bisa menuju ke tempat wali karena ada hal-hal yang ditakutkan.

Tidak diketahui keberadaan wali aqrab dan belum ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal dunia. Sedangkan apabila telah ada keputusan dari hakim bahwa ia telah meninggal, maka hak perwalian berpindah kepada wali ab’ad.

Wali aqrab tidak mau menikahkannya sedangkan wanita tersebut telah mukallaf dan telah meminta untuk dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu kecuali bila wali tersebut juga telah memilih laki-laki lain yang juga sekufu. Keengganan wali aqrab untuk menikahkan tersebut harus berdasarkan ketetapan hakim, dimana hakim telah memanggil wali dan dan kedua calon mempelai kemudian hakim memerintahkan kepada wali untuk menikahkan mempelai wanita tetapi wali tersebut enggan menikahkannya. Maka pada saat demikian hakim boleh menikahkannya segera dengan laki-laki yang sekufu. Namun apabila hakim memerintahkan kembali sampai tiga kali dan wali aqrab menolak menikahkan wanita tersebut sampai tiga kali, maka wali tersebut di hukumi fasek apabila amalan taatnya tidak lebih besar dan hak perwalian wanita tersebut berpindah kepada wali ab`ad.


Wali sedang melakukan ihram.

Wali aqrab ingin menikahi wanita tersebut untuk dirinya yaitu bila yang menjadi wali adalah anak paman, maka apabila hak wali berada di tangan anak paman (karena wali aqrab lain tidak ada) maka yang menjadi wali adalah hakim.

Secara umum ketentuan (dhabit) kondisi yang menyebabkan hakim menjadi wali nikah adalah“Apabila hak wali masih berada pada wali aqrabtetapi ada ‘ozor pada diri wali aqrab sehingga ia tidak dapat melangsungkan akad pernikahan, maka hak perwalian berpindah ke di tangan hakim, sedangkan apabila hak wali telah hilang dari wali aqrab maka hak wali berpindah kepada wali ab`ad”. (7)


Hal-hal yang menghilangkan hak perwalian pada seseorang adalah perbudakan, anak-anak, gila, fasik ,hajr karena safih, adanya gangguan pemikiran (ikhilal nadhar) karena sangat tua atau karena penyakit dan murtad. (8)

Apabila tidak diperdapatkan wali yang telah di sebutkan di atas, maka dibolehkan bagi keduanya untuk men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang laki-laki yang adil yang disebut sebagai muhakkam.


Muhakkam tidak berhak menjadi wali nikah kecuali :

Apabila tidak ada semua wali, baik wali nasab (atau wakilnya), wali wila` dan wali hakim. Selama di satu daerah masih ada wali hakim (KUA) walaupun hakim dharurah (seperti yang ada saat ini) maka muhakkam tidak berhak menjadi wali kecuali hakim tersebut memungut biaya yang memberatkan kedua pihak mempelai maka dalam kondisi demikian boleh saja kedua calon men-tahkim-kan diri mereka kepada seorang yang adil untuk dinikahkan.

Apabila muhakkam tersebut merupakan seorang mujtahid muthlaq maka boleh saja ia menjadi wali walaupun di daerah tersebut ada hakim yang juga mujtahid.(9)


----------------------------------------------------------------

  1. Imam Zakaria al-Anshari, Tahrir, Juz. II (Jeddah, al-Haramain, tt), h. 226-227.
  2. Sulaiman bujairimi, Hasyiah al-Bujairimi, juz. III (Beirut, Dar Fikr) h. 193
  3. Sayyid Bakri Syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III (Haramain, tt) hl 308-311
  4. Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III hl 312
  5. Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III hl 308-314
  6. Hasyiah I`anatuth Thalibin jld III  hl 315-318
  7. Hasyiyah I`anat al-Thalibin, Juz. III, hl. 318, 
  8. Sulaiman Bujairimi, Hasyiah Bujairimi `ala Syarh Manhaj jld III hl 404-408 (Beirut, Dar Kutub ilmiyah)
  9. Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj juz VII (Beirut, Dar Fikr,1997 ) hl. 278-279



Referensi:

Tuhfatul Muhtaj beserta kedua Hasyiahnya (Dar Fikr)

Hasyiah Bujairimi `ala Manhaj (Dar Kutub Ilmiyah)

Hasyiah I`anatuth Thaalibin (Haramain)

Syarah Tahrir Tanqih Lubab (Haramain)

Santri Lampung
 
Desain Kalender 2025 Download

Ads by Google Pasang Iklan Klik Disini
Daftar Baca :
Sαƙʅαɾ Jιɯα - ⓢⓤⓑⓐⓡⓓⓘ.ⓒⓞⓜ Developed by Jago Desain