Download Aplikasi SantriLampung.
You may want to read this post:
You may want to read this post:

Mazhab dan Ikhtilaf Ulama Mazhab

 


BAB I PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang


Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.


Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, ikhtilaf para ulama, dan mazhab-mazhab dalam fiqih,dikhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.


B.       Rumusan Masalah


1.      Apa yang dimaksud madzhab?


2.      bagaimana ikhtilaf para ulama, yaitu madzhab hanafi, maliki, syafi'I, dan mazhab hanbali?




BAB II PEMBAHASAN


A.      Definisi Mazhab


Secara bahasa, mazhab artinya tempat berpergian. Menurut istilah fiqh, mazhab memiliki dua makna. Pertama,mazhab berarti jalan pikiran atau metode yang digunakan seorang mujtahid (orang yang berijtihad/ulama) dalam menetapkan hukum terhadap suatu kejadian. Kedua, mazhab juga berarti pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti (ulama yang memberi fatwa) dalam memutuskan hukum suatu peristiwa.[1] Istilah mazhab tidak hanya digunakan dalam bidang fiqh, tetapi juga dalam aqidah. Bahkan sekarang metode berfikir dalam bidang ilmu social pun sering disebut mazhab. Dengan demikian, mazhab fiqh adalah kitab-kitab yang memuat berbagai metode pengambilan hukum Islam terhadap kasus-kasus yang bersifat amali (praktis), baik yang sudah jelas hukumnya dalam Al-Qur'an dan Hadits, maupun yang belum jelas hukumnya.


B.       Definisi Ikhtilaf/Khilafiyah


Ikhtilaf adalah perbedaan metodologi para ulama dalam mengistinbatkan hukum Islam (pengambilan hukum) dari teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadits Rasulullah s.a.w. Ikhtilaf tidak selalu identik dengan perselisihan. Ikhtilah adalah perbedaan yang didasarkan pada Nash Al-Qur'an dan Al-Hadits dalam rangka mencari kebenaran. Sedangkan perselisihan tidak semuanya didasarkan pada Nash Al-Qur'an dan Al-Hadits, dan tidak semuanya dalam rangka mencapai kebenaran. Sangat banyak perselisihan dalam Islam tanpa didasarkan pada nash, tetapi pada hawa nafsu dan kecendrungan dan keinginan masing-masing.[2]


C.      Tempat-tempat terjadinya Khilafiyah


Karena sumber-sumber hukum (islam) pada masa sahabat sepeninggal Nabi SAW adalah al-Qur'an, al-sunnah, dan ijtihad sahabat (termasuk : Qiyas, Ra'yu, dan Ijma' sahabat), dalam buku Genealogi Pluralitas Madzhab dalam Hukum IslamAbbas Arfan mengkelompokannya dalam tiga katagori yaitu:


1.    Al-Qur'an, penyebabnya adalah sebagai berikut :


a.    Adanya kontradisi antara sesama nash-nash al-qur'an dan adanya upaya mereka untuk mencegah perentangan itu.


b.    Perbedaan dalam memahami ayat-ayat global.


c.    Sebagian sahabat terkonsentrasi dengan zahirnya teks atau nash (tekstual), sedangkan yang lainnya lebih terhadap makna yang bermaksud kontekstual.


d.   Sahabat berhenti pada zahirnya nash-nash umum dan tidak menemukan ataumenganggap nash lain sebagai pengtakhshish-nya, sedangkan yang lain menemukannya.


e.    Perbedaan pendapat dalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-nash al-Qur'an yang memiliki dua aspek pengertian.


2.    Al-Sunnah, seperti diungkapkan oleh waliyullah al-Dahlawi.


a.    Sampainya suatu hadist (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan yang lain tidak, maka ia akan berijtihad dengan ra'yunya.


b.    Mereka sama-sama melihat Nabi SAW (Hadist Fi'liyah), namun sebagian mereka menggap perbuatan Nabi SAW itu sebagai qurbah atau kesunnahan dan sebagian yang lain hanya mubah.


c.    Karena lalai atau lupa akan sunnah yang didengar atau dilihatnya.


d.   Perbedaan persepsi antara antara mereka dalam memahami perkataan-perkataan Nabi SAW (Sunnah Qauliyah).


e.    Perbedaan dalam menentukan 'illat hukum suatu sunnah.


f.     Perbedaan pemahaman dalam menyikapi beberapa sunah yang saling kontradiksi.


3.    Ijtihad


Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu ijtihad dengan ra'yu ini tidak bias dilepaskan dari perbedaan yang ada antara mereka berbagai hal termasuk ra'yunya atau pandangan intelektualnya yang sangat dipengaruhi oleh akal, kepribadian, keluarga, dan lingkungannya.


Sebagai perbandingan kami cantumkan kutipan dari buku perbandingan madzhab bapak Ali Trigiyatno M.Ag Tempat-tempat terjadinya khilafiyah yang lebih ringkas agar muda dipahami, yaitu :


a.    Ayat-ayat al-Qur'an yang petunjuknya tidak pasti atau zhanni ad-dalalah. Sedangkan ayat-ayat yang sudah pasti dan jelas maknanya bukan lading terjadinya masalah khilafiyah.


b.    Hadist-hadist Nabi saw yang jumlahnya ratusan ribu, ada yang zhanni, baik zhanni wurud (dugaan terkait penisbahannya dengan Nabi) maupun zhanni dalalah (petunjuknya masih bersifat dugaan).


c.    Peristiwa-peristiwa yang belum ada petunjuk langsung dari al-Qur'an dan as-Sunnah juga menjadi ladang yang subur bagi terjadinya perbedaan pendapat. Seperti hukum bunga bank, asuransi, bursa efek, zakat profesi dll.[3]


Ketiga faktor tersebut merupakan jaminan mereka untuk berbeda pendapat dan fatwa, namun jika fatwa mereka benar mereka akan mendapat dua pahala, akan tetapi jika mereka salah, akan mendapatkan satu pahala. Tentu saja ini hanya boleh dilakukan oleh mereka yang berkompeten dan capable untuk itu.


D.      Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf Para Ulama


Ikhtilaf di kalangan para ulama terjadi disebabkan oleh beberapa sebab yang sulit dihindari, sebagaimana dikemukan Syeikh Mahmoud Syaltout,[4]yaitu:


1.      Dalam Al-Qur'an terdapat lafadz-lafadz yang memiliki arti ganda (musytarak), seperti lafadz قرؤ . Lafdzقرؤ   memiliki artisuci dan haidh. Imam Abu Hanifah, berpendapat, perempuan yang dithalak oleh suaminya harus beriddah tiga kali haidh (قرؤ). Sementara Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'I, berpendapat, bahwa perempuan yang dicerai oleh suaminya harus beriddah tiga kali suci (قرؤ). Kemudian dalam Al-Qur'an juga terdapat lafadz hakiki dan majazi, sehingga dalam menetapkan hukum para ulama sering terjadi perbedaan perdapat.


2.      Perbedaan waktu,  tempat dan kasus yang dihadapi  juga salah satu paktor terjadinya ikhtilaf dalam mengeluarkan hukum. Tidak semua kasus yang dihadapi oleh para ulama, didapatkan nash hukumnya. Sehingga satu-satunya jalan, mereka harus berijtihad. Ketika berijtihad para ulama menggunakan metodologi yang belum tentu sama antara yang satu dengan yang lain. Sehingga menimbulkan hukum yang berbeda-beda pula.


3.    Riwayat. Para Ulama tidak sederajad dalam menerima Hadits Rasullah SAW disebabkan jumlah shahabat yang mereka temui tidak sama.Sementara para shahabat juga tidak sederajad dalam mendengar hadits dari Nabi. Ada shahabat yang hanya mendengar satu hadits saja dan ada sampai puluhan, ratusan dan bahkan ribuan hadits. Sehingga ada hadits yang sampai kepada sebahagian ulama dan tidak sampai kepada sebahagian yang lain.


4.    Berbeda dalam menggunakan kaedah-kaedah ushul dalam menetapkan hukum. Contohnya kaedah: "Perintah setelah larangan hukumnya sunnah." Namun ada kaedah lain: "Perintah setelah larangan hukumnya boleh."


5.    Disebabkan adanya dalil yang diperselisihkan menggunakannya, seperti Istihsan, Maslahah Mursalah, Qaul shahabat, 'Uruf, dan lain-lain.


6.    Perbedaan kapasitas intelektual masing-masing ulama, tentang masalah-masalah sumber ajaran Islam, terutama dalam bidang hadits Nabi SAW, sehingga ada hadits yang menjadi hujjah bagi sebagian ulama dan ditolak oleh sebagian yang lain.


E.       Sebab-Sebab Terjadi Perselisihan


Imam Muhammad Abu Zahrah, mengemukakan delapan penyebab terjadinya perselisihan di kalangan kaum muslimin. Sebab-sebab ini agak lebih umum dari sebab-sebab ikhtilaf/khilafiyah di atas. Sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut:


1.    Fanatisme (Ashabiyah) Arab. Muhammad Abu Zahrah menganggap masalah fanatisme Arab menjadi sebab yang paling penting terjadinya perselisihan dalam Islam. Pada masa Rasulullah, sifat fanatisme orang Arab dapat diredam, kemudian muncul kembali pada akhir pemerintahan Usman bin Affan.


2.    Perebutan Kekhalifahan (kekuasaan). Hal ini berkisar pada masalah siapa pengganti Nabi SAW setelah beliau wafat. Kelompok Anshar menganggap mereka-lah yang paling berhak memimpin kaum muslimin setelah Nabi wafat.


3.    Pergaulan kaum muslimin dengan penganut agama terdahulu, dan masuknya mereka ke dalam Islam. Banyak penganut agama Yahudi, Nasrani dan Majusi masuk Islam, sedangkan pola berfikir dan landasan berfikir mereka tidak berubah. Sehingga mereka berfikir tentang hakikat ajaran Islam dalam perspektif keyakinan lama.


4.    Penerjemahan buku-buku filsafat. Pengaruh penerjemahan buku-buku filsafat terhadap perbedaan pendapat dalam Islam sangat jelas. Nuansa pemikiran Islam banyak dipengaruhi oleh pertentangan antar mazhab filsafat kuno, tentang alam, materi dan metafisika. Muncullah kelompok-kelompok skeptisisme dari kalangan kaum muslimin.


5.    Melakukan pembahasan masalah-masalah yang rumit. Tersebarnya pemikiran filosofis di kalangan umat Islam dalam menetapkan aqidah, telah menyeret mereka kepada berbagai kajian yang berada di luar kemampuan akal manusia.Perbedaan pendapat di kalangan Ulama Kalam termasuk dalam kategori ini.


6.    Munculnya pendongeng. Pendongeng pertama kali muncul pada masa Usman. Mereka sering masuk masjid menceritakan hal-hal yang khurafat dan tahayul. Ali bin Abu Thalib, pernah mengusir mereka dari masjid.


7.    Dicarinya tafsir terhadap ayat-ayat mutasyabbih. Padahal di dalam Al-Qur'an dilarang mencari tafsir terhadap ayat-ayat mutasyabbih (Ali Imran: 7).


8.    Penggalian hukum syar'i. Ini dapat dilihat dalam ikhtilaf/khilafiyah di atas.


F.       Tokoh-tokoh Mazhab Fiqih yang Empat


1.    Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)


Imam Abu HAnifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih memiliki pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Imam Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika kemudian dari keturunan Tsabit ini muncul seorang ulama besar seperti Abu Hanifah.[5]


Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi dewasa di sana. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-Qur'an. Selain memperdalam Al-Qur'an, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh.Dalam hal ini kalangan sahabat Rasul, diantaranya kepada Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka, beliau juga mendalami ilmu hadits.


Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mempelajari ilmu. Sebagai gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa itu, yakni Human bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat gurunya, Imam Hnifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis ilmu di Kufah.


Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu', dansangat teguh memegang ajaran agama.Beliau tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak tawaran sebagai hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir hayatnya.


Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/767 M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di pekuburan Khizra. Pada tahun 450 h/1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama Jami' Abu Hanifah.


Sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tetap tersebar melalui murid-muridnya yang cukup banyak. Diantara murid-murid Abu Hanifah yang terkenal adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarrak, Waki' bin Jarah Ibn Hasan Al-Syiabani, dan lain-lain. Sedang di antara kitab-kitab Imam Abu Hainifah adalah: Al-Musuan (kitab hadits, dikumpulkan oleh muridnya), Al-Makharij (buku ini dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah, diriwayatkan oleh Abu Yusuf), dan fiqh Akbar (kitab fiqh yang lengkap).


a.    Sistematika Sumber Hukum Mazhab Hanafi


Abu Bakar Muhammad Ali Thaib Al-Baghdadi dalam kitabnya, Al-Baghdadimenjelaskan bahwa dasar-dasar pemikiran fiqih Abu Hanifah sebagai berikut: "aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Allah. Bila tidak ditemukan didalamnya, aku ambil dari sunnah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan sunnahnya, aku ambil pendapat-pendapat sahabat. Aku ambil perkataan yang aku kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang tidak aku kehendaki. Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain mereka. Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah datang kepada Ibrahim, As-Syaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha, Sa'id, dan abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi mereka orang-orang yang telah berijtihad".[6]


Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar Mazhab Hanafi adalah:


1)   Kitab Allah (al-Quran)


2)   Sunnah Rasulullah yang sahih serta telah mahsyur diantara para ulama yang ahlu.


3)   Fatwa-fatwa dari sahabat.


4)   Al-Qiyas


5)   Al-Istihsan


6)   Al-'Urf


b.   Pola Pikir dan Faktor Yang Mempengaruhi Imam Hanafi


Secara geografis Imam Hanafi lahir di Kuffah (Iraq) yang penduduknya merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqaha daerah ini sering dihadapkan pada persoalan hidup yang beragam. Untuk mengatasinya, mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan hijaz. Masyarakat daerah ini masih dalam suasana kehidupan sederhana seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasinya, para fuqahah hijaz cukup mengandalkan al-Quran, Sunnah, dan Ijma' para sahabat. Oleh karena itu mereka tidak merasa perlu untuk berijtihad seperti fuqaha Iraq.


Sebaliknya Imam Abu Hanifah menghadapi persoalan kemasyarakatan di Iraq, yaitu daerah yang sarat dengan budaya dan peradaban, tetapi jauh dari pusat informasi hadist Nabi. Jadi "terpaksa" atau "selalu" menggunakan akal atau rasionya.


Dapat penulis simpulkan bahwasannya imam hanafi dalam memutuskan hukum lebih dominan menggunakan ijtihad dan akal yang berbeda dengan Imam-Imam Ahlul Hadis, yang adakalanya tidak menerima ijtihad. Inidikarnakan masyarakat di iraq telah mengenal kemajuan peradaban dan jauh dari jauh kota sumber hadis.


Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:


1)   Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)


2)   Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)


3)   Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)


4)   Hasan bin Ziyad Al-Lu'lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari ( wafat pada tahun 204 H).


Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:


1)   Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;


2)   Bagian kedua al-Jami' al-Kabir;


3)   Bagian ketiga al-Jami' as-Sagir;


4)   Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;


5)   Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan


6)   Bagian keenam az-Ziyadah.


Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur.Mazhab hanafiah berkembag di masa abbassyiah dinegeri Baghdad, mesir, Persia, Maghribi dan sebagian negera Yaman.Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon.Dan madzhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.


2.    Imam Malik Bin Anas (93-179 H/712-795 M)


Imam Malik bin Anas, pendiri mazahab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H. baliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis ilmu pengetahuan, sehingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Qur'an. Tak kurang dari itu, ibundanya sendir yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut ilmu.


Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yang sangat terkenal pada waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadits kepada Ibn Syihab, disamping juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat. Setelah mencapai tingkatan yang tinggi  dalam bidang ilmu itulah, Imam Malik mulai mengajar, karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan.


Meski begitu, beliau dikenal sangat berhati-hati dalam member fatwa. Beliau tak lupa untuk terlebih dahulu menenliti hadis-hadis Rasulullah saw, dan bermusyawarah dengan ulam lain, sebelum kemudian memberikan fatwa atas suatu masalah. Diriwayatkan bahwa beliau memiliki tujuh puluh orang yang bisa diajak bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa.


Imam Malik dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar 31 hadits dari Ibn Syihab tanpa menulisnya. Dan ketika diminta kepadanya untuk mengulangi seluruh hadis tersebut, tak satupun dilupakannya. Imam Malik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatannya, terlabih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadits secara tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.


Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya yang member kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau sendiri pernah berkata: "Ilmu itu adalah cahaya; ia akan mudah dicapai dengan hati yang taqwa dan khusyu". Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika beliau berkata: "sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua hal, dan salah satunya meragukan, maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan menurutmu".


Tak pelak Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadits dan fiqh. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut. Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwaththa', yang merupakan kitab hadis dan fiqh.


Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki tersebar luas dan dianut di banyak bagian diseluruh penjuru dunia.


a.    Sistematika Sumber Hukum Mazhab


Sistematika sumber hukum atau istinbath Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau mazhabnya meyusun sistematika imam Malik. Sebagaimana qadhi'iyyad dalam kitabnya Al-Mudharrak,sebagai berikut: "sesungguhnya manhaj imam Dar-Alhijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika tidak ditemukan dalam kitabullah nash-nya ia mengambil As-sunnah (katagori As-Sunnah menurutnya hadits-hadits nabi dan fatwa-fatwa sahabat, amal Ahli-Almadinah, al-qiyas, al-mashlahah al-mursalah, sadd adz-dzara'i, al-'urf, dan al-'adat".


b.   Pola Pikir Dan faktor Yang Mempengaruhi Imam Malik


Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik lahir di Madinah yang di kenal sebagai daerah Hadits dan tempat tinggal sahabat Nabi. Fuqaha di sini lebih mengerti hadits daripada fuqaha lainnya. Madinah pun merupakan suatu tempat yang masih bernuansa kampung dan sederhana, suatu kehidupan yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijma' sahabat sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar acuan keputusan hukum. Di sini jelas, para fuqaha tidak perlu lagi ijtihad dan rasio karena Madinah sebagai tempat asal dan dekat dengan Mekkah. Atas hal ini wajarlah kalau Imam Malik lebih cenderung lebih menguasai hadits dan kurang menggunakan rasio di banding Imam Abu Hanifah, karena faktor sosial dan budaya masyarakat.


Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.


3.    Imam Syafi'i (150-204 H/769-820 M)


Imam Syafi'i, yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafi'i adalah: Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.[7]


Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau rendah diri, apalagi malas. Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama-ulam hadits yang banyak terdapat di Mekkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga telah hafal Al-Qur'an.


Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Mekkah mempelajari Ilmu Fiqh dari Imam Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke Iraq, sekali lagi mempelajari fiqh, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Dalam perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat lain.


Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan mengajarkan ilmu disana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafi'i memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara lebih luas, dan banyak orang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal.


Tak lama setelah itu Imam Syafi'i kembali ke Mekkah dan mengajar rombongan jamah haji yang datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah mazhab Syafi'i menjadi tersebar luas ke seluruh dunia.


Pada tahun 198 H, beliau pergi ke Negara Mesir. Beliau mengajar di Mesjid Amru bin As. Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amaliqubra, Kitab Risalah, Ushul Al-fiqh, dan memperkenalkan Waul Jadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam penyusunan kitab Ushul Fiqh, Imam Syafi'i dikenal sebagai orang pertama yang mempelopori penulisan dalam bidang tersebut.[8]


Di Mesir inilah akhirnya Imam Syafi'i wafat setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih di baca orang, dan makam beliau di Mesir sampai detik ini masih ramai di ziarahi orang. Sedang murid-murid beliau yang terkenal diantaranya adalah: Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu Ya'kub Yusuf bin yahya Al-Buwaiti dan lain sebagainya.


a.    Sistematika Sumber Hukum Mazhab


Pola pikir imam Asy-Syafi'i secara garis besar dapat di lihat dari kitab Al-Umyang menguraikan sebagai berikut: " ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah Al-Quran dan As-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua Ijma' ketika tidak ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah dan ketiga sahabat Nabi ( fatwa sahabi ) dan kami tahu dalam fatwa tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara mereka, keempat ikhtilaf sahabat Nabi, kelima qiyas yang tidak diqiyaskan selain kepada Al-Quran dan As-Sunnah karena hal itu telah berada di dalam kedua sumber, sesungguhnya mengambil ilmu dari yang teratas.[9]


b.   Pola Pikir Dan Faktor Yang Mempengaruhi Imam Syafi'i


Faktor Pluralisme Pikiran : Imam As-Syafi'i lahir dan hidup sangat jauh berbeda dengan imam sebelumnya. Pada masa Imam Syafi'i hidup, sudah banyak ahli fiqih, baik sebagai murid Imam abu Hanifah atau Imam Malik sendiri masih hidup. Akumulasi berbagai pemikiran fiqh fuqaha, baik dari Mekkah, Madinah, Irak, syam, dan Mesir menjadikan asy-syafi'i memiliki wawasan yang luas tentang berbagai aliran pemikiran fiqih.


Faktor Geografis: faktor ini merupakan faktor secara alamiah negara Mesir tempat Asy-Syafi'i lahir. Mesir adalah daerah kaya dengan warisan budaya Yunani, Persia, Rumawi dan Arab. Kondisi budaya yang kosmopolit ini tentu saja memberikan pengaruh besar terhadap pola pikir Imam Asy-syafi'i. Hal ini terlihat dari kitabnya Ilmu Mantiq yang di pengaruhi aliran Aristoteles.


Faktor Sosial Dan Budaya: faktor ini ikut mempengaruhi pola pikir Imam Syafi'i dengan Qaul Qadhim dan Qaum Jadid. Qaul qadhim di bangun di Irak tahun 195 H. Di mana masa itu Imam Syafi'i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan Al-Amin. Setelah tinggal di Irak Asy-Syafi'i melakukan perjalanan ke beberapa daerah dan kemudian tinggal di Mesir. Di Mesir ia bertemu dan berguru kepada ulama Mesir yang pada umumnya adalah rekan Imam Malik. Karena perjalanan intelektualnya tersebut, Imam Syafi'i mengubah beberapa pendapatnya yang di sebut dengan Qaul Jadid. Dengan demikian Qaul qadhim adalah pendapat Imam Syafi'i yang bercorak ra'yi sedangkan Qaul Jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.


Kitab-kitab Imam Syafi'i baik yang ditulisnya sendiri ataupun didektekan kepada muridnya maupun yang dinisbahkan kepadanya antara lain sebagai berikut:


1)   Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh.


2)   Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.


3)   Kitab al-Musnad, berisi hadist-hadist yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.


4)   Al-Imla'


5)   Al-Amaliy.


6)   Harmalah (dinisbahkan pada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).


7)   Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi'i).


8)   Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi'i).


9)   Kitab Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi'i tentang hadist-hadist Nabi SAW).


Daerah-daerah yang yang menganut mazhab Syafi'i adalah Libia, Mesir, Indonesia, Philipina, Malysia, Somalia, Arabia selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Paistan, India, Sunni-Rusia, Yaman, jazirah Indo China.


4.    Imam Ahmad Hambali (164 -241 H/780-855 M)


Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H (780M).


Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan minaat yang besar kepada ilmju pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad nerupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar menghagfal Al-Quran, kemudian belajar Bahasa Arab, Hadits, sejarah para Nabi dan sahabat sertathabi'in.


Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk beberapa kalinya, disanalah beliau bertemu dengan Imam Syafi'i. beliau juga pergi menuntut ilmu ke Yaman dan Mesir.


Pada masa pemerintahan Al-Muktasim sampai khalifah Abbasiyah beliau sempat dipenjara, karena sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa khalifah Al-Mutawakkil.


Imam Aahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun 241 H (855 M) pada masa pemerintahan khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut.


a.    Sistematika Sumber Hukum Mazhab


Cara Imam Hambali dalam memberikan fatwa tentang urusan agama dan hukum-hukum yang berkenaan dengan agama sangat berhati-hati, baik dalam menjawab atau menjelaskan hukumnya.Bahkan seringkali beliau memberikan jawaban : "Saya tidak tau atau belum tau atau belum saya periksa", kalau memang belum jelas benar tentang perkara yang ditanyakan kepada beliau. Adapun dasar-dasar hukum Imam Hambali adalah :


1)   Al-Qur'an dan Hadist, yakni apabila beliau medapatkan Nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.


2)   Ahmad Ibnu Hanbal berfatwa dengan fatwa sahabat, ia memilihi pendapat sahabat yang tidak menyalahinya (Ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.


3)   Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibnu Hanbal memilih salah satu pendapat mereka yang lebih dekat kepada Al-Qur'an dan As-sunnah.


4)   Ahmad Ibnu Hanbal menggunakan Hadist Mursal dan Dhaif apabila tidak ada aksar, qaul sahabat atau ijma' yang menyalahinya.


5)   Apabila tidak ada dalam Nash, As-Sunnah, qaul sahabat, riwayat Masyhur, Hadist Mursal dan Dhaif, Ahmad Ibnu Hanbal menganalogikan (menggunakan Qiyas) dan Qiyas bagi nya adalah dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.[10]


b.   Pola pikir dan faktor yang mempengaruhi Imam Hambali


Pesat nya perkembangan zaman tidak membuat Imam Hambali berpikir rasional, bahkan hasil rumusannya lebih ketat dan kaku dibandingkan Imam Maliki yang tradisional. Paling tidak ada dua faktor yang menjadikan Imam Hambali berpikir seperti itu.


Faktor munculnya berbagai aliran. Pada masa ini, aliran syiah, khawarij, qadariah dan murjiah, semua aliran ini telah banyak keluar atau menyimpang dari ajaran islam yang sebenarnya.


Faktor politik dan budaya. Ahmad Ibnul Hanbal, hidup pada periode pertengahan kekhalifahan Abbasyiah, ketika unsur Persia mendominasi unsur Arab. Pada periode ini sering kali timbul pergolakan, konflik, dan pertentangan yang berkisar pada soal kedudukan putra mahkota dan khilafat antara anak-anak khalifah dan saudara-saudara nya. Saat itu aliran Mu'tazilah berkembang, bahkan menjadi mazhab resmi Negara pada masa pemerintahan Almakmun, Almu'tasim, dan Alwatsiq.


Inilah faktor yang menyebabkan Imam Hanbali mengajak kepada masyarakat untuk berpegang teguh kepada Hadist dan Sunnah. Sikap ini berbeda dengan Imam Asyafi'I yang melawan ijtihat rasional pada saat itu dengan memadukan hadist dan rasio. Sebaliknya, Imam Hanbali justru berpendapat bahwa ijtihat itu sendiri harus dilawan dengan kembali berpegang teguh kepada hadist dan Sunnah. 


Daerah yang Menganut Madzhab Hambali, Awal perkembangannya, madzhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama.Pada abad XII madzhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su'udi, (saat ini menganut Faham Abu Hanifah). Dan masa sekarang ini menjadi madzhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.


Kitab-kitab Imam Hambali selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik,ia juga`seorang pengarang. Beliau mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup sesudahnya.


Di antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut :


1)   Kitab Al-Musnad.


2)   Kitab Tafsir al-Qur'an.


3)   Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.


4)   Kitab al-Muqqodam wa al-Muakhkar fi al-Qur'an.


5)   Kitab Jawabul al-Qur'an


6)   Kitab al-Tarikh


7)   Kitab Manasiku al-Kabir


8)   Kitab Manasiku al-Shagir


9)   Kitab Tha'atu al-Rasul


10)     Kitab al-'illah


11)     Kitab al-Shalah.


G.      Tujuan Mempelajari Perbandingan Mazhab


Setiap sesuatu hikmah dan tujuannya yang hendak dicapai atau diraih. Begitu pula lahirnya ilmu perbandingan Mazhab, ia tidak bisa terlepas dari tujuan atau maksud yang hendak disampaikan. Setidaknya ada dua tujuan yang hendak dicapai dalam mempelajari perbandingan Mazhab yaitu tujuan secara praktis dan tujuan secara akademis.


Tujuan secara praktis, adalah tujuan yang bisa dirasakan baik oleh muqarrin (pelaku perbandingan) atau masyarakat secara umum.


1.    Untuk menimbulkan rasa saling menghormati atau toleransi (tasamuh) dengan yang berbeda pendapat. Ini menandakan bahwa islam menghsargai kebebasanmenyatakan pendapat. Pendapat yang muncul bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan atau perselisihan, tetapi sebagai tawaran alternative untuk memberikan kemudahan dalam menyelesaikan persoalan dan realita hidup.


2.    Dapat mendekatkan berbagai Mazhab disatu pihak, sehingga perpecahan umat dapat disatukan kembali ataupun jurang perbedaan dapat diperkecil sehingga terjalin persaudaraan islam.


3.    Memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa perbedaan adalah sunnatullah yang tak bisa dihindari dimanapun ia berada.


4.    Dapat menimbulkan rasa puas dalam mengamalkan suatu hukum sebagai hasil dari berbagai pendapat imam Mazhab.


5.    Dapat meneteramkan jiwa karena membandingkan adalah jalan yang mudah untuk mengetahui cara-cara para Imam dalam menentukan hukum.[11]


Adapun tujuan secara akademik, sebagai tujuan yang syarat dengan unsur-unsur ilmiah, yaitu sebagai berikut:


2.    Untuk mengetahui pendapat, konsep teori dasar, akidah, kaidah, metode, teknis ataupun pendekatan yang digunakan oleh tiap-tiap imam Mazhab Fiqih dalam menggali hukum islam dan menetapkan hukumnya.


3.    Untuk mengetahui betapa luasnya pemahaman ilmu fiqih dan betapa kayanya khazanah hukum islam yang diwariskan oleh para imam Mazhab hamper tidak bias dihindari baik langsung ataupun tidak langsung sebagai konsep perbandingan Mazhab.




BAB III  PENUTUP


A.      Kesimpulan


Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidahistinbath. Dengan demikian pengertian mazhab adalah: mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau kaidah-kaidah istinbath-nya.


Proses lahirnya mazhab yang paling utama adalah faktor usaha para murid imam mazhab yang menyebarkan dan menanamkan pendapat para imam kepada masyarakat dan juga disebabkan adanya pembukuan pendapat para imam mazhab sehingga memudahkan tersebarnya pendapat tersebut di kalangan masyarakat.


Perkembangan berbagai mazhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari penguasaan politik.


Secara umum, tiap-tiap Mazhab memiliki ciri khas tersendiri karena para pembinanya berbeda pendapat dalam menggunakan metode penggalian hukum. Namun perbedaan itu hanya terbatas dalam masalah-masalah furuq, bukan masalah-maslah prinsipil atau pokok syariat. Mereka sependapat bahwa semua sumber atau dasar syariat adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Semua hukum yang berlawanan dengan kedua hukum tersebut wajib ditolak dan tidak diamalkan.




DAFTAR PUSTAKA


Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab,(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005)


Dedi Supriadi "Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru", (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008).


Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996).


Jalaluddin Rakhmat, "Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh", (Bandung : PT. Mizan, 2007).


M. Ali Hasan, "Perbandingan Mazhab",( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002).


Syeikh Mahmoud Syaltout dan Syeikh M. Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996).


Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2005).






[1]Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2005), hal. 175.


[2]Imam Muhammad Abu Zahrah,Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hal. 1-5.  


[3]Ali Trigiyatno, Perbandingan Madzhab, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005), hal. 30


[4]Syeikh Mahmoud Syaltout dan Syeikh M. Ali As-Sayis, Perbandingan Mazhab, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hal. 16-17.


[5]M. Ali Hasan, "Perbandingan Mazhab",( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), 184


[6]Dedi Supriadi "Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru", (Bandung : CV Pustaka Setia, 2008), hal. 157


[7]Jalaluddin Rakhmat, "Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh", (Bandung : PT. Mizan, 2007), hal. 190.


[8]Jalaluddin Rakhmat, "Dahulukan Akhlak. . ., hal. 191


[9]M. Ali Hasan, "Perbandingan Mazhab. . ., hal. 212


[10]M. Ali Hasan, "Perbandingan Mazhab". . . , hal. 230


[11]Dedi Supriadi, Perbandingan mazhab. . ., hal. 30 


Alumni Universitas Islam Negeri Lampung.
You may want to read this post:
You may want to read this post: