Download Aplikasi SantriLampung.
You may want to read this post:
You may want to read this post:

Hukum Mengambil kembali Wakaf



Pada umumnya, umat Islam yang diberikan kelapangan rizki oleh Allah SWT tidak segan-segan mewakafkan sebagian harta bendanya, terutama tanah yang menjadi miliknya untuk pembangunan masjid, madrasah, pondok pesantren, asrama yatim piatu, tempat pemakaman dan sebagainya secara ikhlas semata-mata karena Allah SWT.



Mereka meyakini bahwa tanah atau benda-benda lain yang diwakafkan pahalanya akan terus mengalir,sungguh pun mereka telah wafat. pada umumnya pula, tanah atau benda-benda lain yang diwakafkan dengan tulus ikhlas untuk pembangunan masjid, madrasah, pondok pesantren, asrama yatim piatu, tempat pemakaman dan sebagainya tidak dilengkapi dengan surat ikrar wakaf, atau sertifikat atau akte notaris atau surat-surat lainnya.



Akibatnya, banyak tanah atau benda-benda wakaf lainnya yang diklaim oleh pihak lain, atau diperjualbelikan oleh keluarga waqif (orang yang mewakafkan) kepada pihak lain. Hal ini terutama terjadi sebelum lahirnya UU Pokok Agraria dan PP No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik



Pada sisi lain, banyak terjadi di mana masjid, madrasah, pondok pesantren, asrama yatim piatu dan tempat pemakaman yang didirikan di atas tanah wakaf atau benda-benda lain yang diwakafkan tidak dapat difungsikan lagi sebagaimana mestinya.



Bisa jadi karena bangunan tersebut sudah tidak layak dihuni, atau karena tergusur atau karena lingkungan sekitarnya sudah menjadi kawasan perkantoran atau perdagangan sehingga tidak banyak umat Islam yang memanfaatkan tempat ibadah atau pendidikan yang diwakafkan tersebut, atau karena faktor lain.



Dengan banyaknya kasus-kasus yang terjadi terhadap benda-benda wakaf sebagaimana disebutkan di atas, menimbulkan pertanyaan sebagian umat Islam kepada MUI Propinsi DKI tentang boleh atau tidaknya memperjualbelikan benda-benda wakaf menurut hukum Islam. Untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang boleh atau tidaknya memperjualbelikan benda wakaf, maka Komisi Fatwa MUI Propinsi DKI Jakarta memfatwakan:



1. Wakaf adalah menyerahkan (menyedekahkan) tanah atau benda-benda lain yang dapat dimanfaatkan oleh umat Islam tanpa merusak atau menghabiskan pokok (asal)-nya kepada seseorang atau suatu badan hukum agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umat Islam. Seperti mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid, madrasah, pondok pesantren, asrama yatim piatu, tempat pemakaman dan sebagainya. Sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Sabiq, sebagai berikut:

"Wakaf adalah menahan asal (pokok)dan mendermakan buah (hasil )-nya untuk sabilillah, yakni menahan harta dan mendayagunakan manfaatnya untuk sabilillah".




2. Wakaf, hukumnya adalah sunnah muakkadah. Karena wakaf merupakan shodaqoh jariyah yang pahalanya terus mengalir, meskipun waqif (orang yang mewakafkan) telah wafat. Hal ini didasarkan pada Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 92:




لَن تَنَالُواْ البِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ(92) ال عمران


Artinya: Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian(yang sempurna), sebelum kamu menginfaqkan (menafkahkan) sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Ali Imran, 3: 92



Demikian juga sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, Muslim dan Turmudzi dari sahabat Anas bin Malik RA. sebagai berikut:



عَنْ اِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ ابْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ كَانَ أَبُوْ طَلْحَةَ أَكْثَرَ اْلأَنْصَارِ بِاْلمَدِيْنَةِ مَالاًً مِنْ نَخْلِ وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ يَرْحَاءَ وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءِ فِيْهَا طَيِّبٌ قَالَ أَنَسٌ فَلَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ قَامَ أَبُوْ طَلْحَةَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُوْلُ لَنْ تَنَالُوا اْلبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّوْنَ وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ يَرْحَاءُ وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بَرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللهِ فَضَعْهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ حَيْثُ أَرَاكَ اللهُ قَالَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتُ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي اْلأَقْرَبِيْنَ فَقَالَ أَبُوْ طَلْحَةَ أَفْعَلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَقَسَمَهَا أَبُوْ طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ ( رواه البخاري ومسلم والترميذي) ¬



"(Suatu ketika) Sahabat Abu Thalhah menghadap Rasulullah SAW dan berkata: Allah SWT telah berfirman dalam Kitab-Nya: 'Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), hingga kamu menafkahkan apa-apa yang kamu cintai'. Sesungguhnya, harta yang paling aku cintai adalah bairaha (sebuah kebun yang tidak jauh dari Masjid Nabi). Sesungguhnya kebun itu aku sedekahkan untuk Allah; aku mengharapkannya sebagai kebajikan dan simpanan di sisi Allah. Maka letakkan (pergunakanlah) kebun tersebut wahai Rasulullah, sesuai dengan kehendakmu. Rasulullah bersabda: Bagus! Bagus! Bagus! ltu adalah harta yang menguntungkan! Saya telah mendengar apa yang engkau ucapkan (mohonkan) tentang kebun tersebut. Menurut saya, sebaiknya kebun itu engkau gunakan (sedekahkan) untuk keperluan para famili terdekatmu. Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada para familinya yang terdeka dan anak-anak pamannya".




3. Pada dasarnya, wakaf dapat dilakukan oleh orang yang memiliki suatu benda yang sah untuk diwakafkan dengan perbuatan, ucapan atau tulisan. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Qalyubi, Juz III, halaman 105:



"Dan jika seseorang menjadikan (membangun) sebidang tanah (yang dimiliki) untuk masjid, pemakaman, markas pertahanan, madrasah, atau sumur, maka gugurlah segala hak-hak perorangan atasnya".



Sungguh pun demikian, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, maka seseorang yang bermaksud mewakafkan tanah atau benda-benda lain untuk pembangunan masjid, madrasah, pondok,pesantren, asrama yatim piatu, tempat pemakaman dan sebagainya harus mengikrarkannya di hadapan saksi sekurang-kurangnya dua orang saksi. Bahkan sebaiknya di hadapan notaris dan sekaligus disertifikatkan.




4. Pada dasarnya, tanah atau benda lain yang telah diwakafkan tidak boleh dijual-belikan, dihibahkan, dan atau diwariskan. Hal ini didasarkan pada hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Abdullah ibn Umar RA, sebagai berikut:



عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَصَابَ اَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فَيْهَا فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لمَْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِيْ مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهَِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوْهَبُ وَلاَ يُوْرَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي اْلفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلىَ مَنْ وَلِيَّهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهضا بِاْلمَعْرُوْف وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ (رواه البخاري)



Artinya: "Dari sahabat Ibnu Umar RA. beliau berkata; bahwa sesungguhnya Umar mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW untuk memohon petunjuk tentang masalah itu: Maka Umar berkata; 'Ya Rasulullah, saya telah mendapatkan tanah di Khaibar yang sangat saya senangi dan tidak pernah saya dapatkan/miliki sebelumnya. Apakah perintahmu kepadaku berkenaan dengan tanah yang saya dapatkan ini?' Rasul menjawab: 'Jika engkau suka wakafkanlah tanah itu dan engkau sedekahkan hasilnya. Berdasarkan petunjuk Rasulullah, maka Umar ibn al¬Khattab langsung mewakafkan tanah tersebut dengan ketentuan tidak boleh di-perjual-belikan, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh pula diwariskan. Umar mensedekahkannya kepada orang-orang fakir, keluarga terdekat, hamba sahaya, membiayai kegiatan yang bertujuan menegakkan agama Allah, membantu anak¬-anak terlantar di perjalanan, dan untuk menjamu tamu¬tamu. Orang yang mengurus wakaf, diperbolehkan (tidak dilarang) memakan hasil wakaf sewajarnya tanpa (niat) mengambil keuntungan.



Demikian juga hadits Rasulullah SAW riwayat Ibn Majah dari Ibn Umar, r.a., sebagai berikut:



عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اْلمِائَةَ سَهْمُ الَّتِي بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهَا وَقَدْ أَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبِسْ أَصْلَهَا وَسُبُلَ ثَمْرِهَا (رواه ابن ماجه)



Artinya: "Sahabat Umar ibn al-Khattab telah berkata kepada Nabi Muhammad SAW: 'Sesungguhnya saya mempunyai harta yang berupa seratus saham tanah yang terletak di Khaibar. Tanah tersebut sangat saya senangi dan tidak ada harta yang lebih saya senangi dari pada itu. Sesungguhnya saya bermaksud menyedekahkannya'. Nabi bersabda:'Wakaf-kanlah tanah tersebut dan sedekahkan buah (hasil)-nya'.




5. Sungguh pun demikian, jika ada tanah atau benda wakaf tersebut telah rusak atau tidak berfungsi lagi, atau terkena gusur, maka tanah atau benda wakaf tersebut boleh dijual dengan syarat uang hasil penjualannya harus dibelikan tanah atau barang yang penggunaannya sama seperti benda wakaf semula. Hal ini didasarkan pada penjelasan Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughny Juz V halaman 368 sebagai berikut:


"Jika ada suatu benda/harta wakaf telah rusak dan tidak berfungsi lagi, maka benda/harta wakaf tersebut boleh dijual dan uang hasil penjualannya dibelikan barang yang dapat mendatangkan pahala bagi pewakaf, dengan catatan barang tersebut dijadikan barang wakaf sebagaimana semula. Demikian pula jika ada benda yang diwakafkan untuk digunakan sebagai alat perang sudah tidak layak lagi untuk digunakan perang, maka benda tersebut boleh dijual danuang hasil penjualannya dibelikan sesuatu yang layak digunakan untuk perang.”




6. Apabila ada tanah atau harta wakaf terpaksa dijual atau kena gusur, maka uang hasil penjualannya harus dibelikan tanah atau benda lain yang sejenis atau yang lebih baik dari pada tanah atau benda wakaf semula. Jika sesudah dibelikan tanah atau benda lain uangnya masih tersisa, maka sisa uang tersebut harus dipergunakan untuk kepentingan atau kemaslahatan wakaf itu sendiri (seperti pemeliharaan, penambahan, dan pemugaran), atau untuk kemaslahatan umat Islam, karena statusnya adalah harta wakaf juga. Sebab harta yang diperoleh dari wakaf atau dari hasil wakaf adalah termasuk harta wakaf yang harus diserahkan untuk kemaslahatan wakaf itu sendiri. Hal ini didasarkan atas pertimbangan beberapa pendapat ahli fiqh, antara lain Imam Ahmad ibn Hambal, ath- Thanbaradi dan an-Nawawi sebagai berikut:


"Imam Ahmad berpendapat dalam riwayat Abu Daud: Apabila dalam masjid ada dua batang kayu yang berharga, kayu tersebut boleh dijual dan uangnya diserahkan kepada masjid tersebut".


Imam ath- Thanbaradi ditanya tentang pohon yang tumbuh di atas kuburan, tetapi tidak berbuah dan tidak mendatangkan manfaat. Hanya saja, pohon tersebut bisa dibuat kayu dalam jumlah yang banyak dan layak untuk dijadikan bahan bangunan, sedangkan kuburan tersebut tidak mempunyai nadzir (pengelola) khusus. Bolehkah bagi Hakim (pejabat pemerintah )menjual dan memotong pohon tersebut dan kemudian uangnya diserahkan untuk kepentingan kaum muslimin ? Beliau menjawab: Boleh. Hakim (pejabat pemerintah) tersebut boleh menjual pohon di atas kuburan itu dan menyerahkan uangnya untuk kepentingan umat Islam"..


Imam Nawawi dalam Kitab al-Majmu' Syarah al-¬Muhadzab Juz III halaman 594 berkata sebagai berikut:


Menurut pendapat yang unggul bahwa orang yang menerima wakaf tidak berhak memiliki hasil/harga wakaf, tetapi hendaknya hasil/harga tersebut dirupakan benda wakaf juga sebagai pengganti wakaf yang semula, walaupun hasil/uangnya lebih banyak".




7. Berdasarkan hadits-hadits dan pendapat-pendapat para ulama di atas, Komisi Fatwa MUI Proponsi DKI Jakarta berkesimpulan, bahwa penjualan tanah wakaf yang dilakukan oleh salah seorang oknum pengurus Yayasan, tidak sah kecuali jika penjualan tersebut dilakukan atas dasar keputusan rapat pengurus Yayasan sesuai dengan anggaran dasar Yayasan dan uang hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk membeli tanah sejenis atau yang lebih baik dan tanah tersebut berstatus sebagai wakaf sebagaimana tanah wakaf semula.





Negara asal : Indonesia

Negeri : Jakarta

Badan yang mengisu fatwa : Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta

Tarikh Diisu : 28 Oktober 1988


Alumni Universitas Islam Negeri Lampung.
You may want to read this post:
You may want to read this post: